Perlahan dan pasti, Revan menyetir mobilnya masuk. Sesuai dugaan, dirinya disambut dengan tatapan penuh curiga. Dari kemudinya, dia memerhatikan dengan seksama keenam orang yang sudah menunggunya. Satu orang dengan tubuh kekar, kepala botak yang diameternya mengalahkan helm astronaut, dan seluruh lengan kanan yang bebas dari kulit manusia, menampakkan kerangka yang sepenuhnya besi dan kabel. Dua orang berdiri agak ke kanan dari si botak—Revan menebak kalau keduanya ini sepertinya kembar, melihat bentuk tubuh mereka yang sama-sama kurus dan keduanya memiliki rambut mohawk berwarna kuning neon. Namun, sangat sulit untuk memastikan karena kedua orang itu tampaknya melakukan rekonstruksi wajah total, sehingga keduanya seakan memiliki topeng gas menempel di wajah, dengan selang memanjang ke punggung mereka. Mereka menggunakan tabung oksigen? Tidak jelas terlihat dari posisinya Revan. Tak luput dari pengamatan, kedua orang itu setia menggenggam senapan, jari mereka terjaga di pelatuk, siap untuk melepaskan tembakan semisal Revan cari masalah.
Di tengah si botak dan si Dadang dan Dudung—Revan senang memberi asal nama agar lebih mudah mengenali orang—terdapat sebuah truk kargo yang pintu muatannya menghadap dirinya. Berdiri tiga orang lagi yang menjaga isi truknya. Ada seorang perempuan yang bersandar, mengenakan gaun ketat berwarna maroon, ditambah slit di tiap sisi paha yang berhenti di panggul. Matanya dengan tajam terus memerhatikan Revan. Dua pria yang mendampinginya—satu pria berbrewok dan hidung mancung, mengenakan jaket kulit hitam. Satunya lagi memakai kaca mata hitam, sehingga tidak jelas bagaimana ekspresinya.
Revan menghentikan mobilnya dan dengan percaya diri melangkahkan dirinya keluar dari mobil. Jaket hitam membalut dan kemeja polos membalut tubuh tingginya. Tangannya mengusap wajahnya yang dibasahi keringat dingin, sebelum berpindah ke rambut yang ia jaga untuk tetap satu senti panjangnya. Dia sengaja menjaga jarak, sehingga jika benar-benar ada bencana, dia masih sempat untuk lari ke mobilnya. Saat baru keluar inilah dia menyadari, langit-langit gudang ini sangat tinggi, dan sialnya tidak ada akses masuk sama sekali dari atas.
"Stop!" ujar si pria brewok. Revan segera mematuhinya, tahu betul untuk tidak cari perkara. "Angkat tangan lu di atas kepala."
Sebelum Revan bisa membalas si Beruk—sekali lagi, biar gampang diingat Revan—dari ujung penglihatannya tampak si botak sudah mau bergerak untuk menghajar Revan. Menyadari hal itu, Revan segera mengikuti arahan si Beruk. "Santai cuy, gue gak bawa apa-apa kok," ucap Revan. Tampaknya ia berhasil menghentikan si botak, namun si Beruk masih berjalan ke arah Revan.
Menyadari niatan si Beruk, Revan memberi celetukkan, "Gak percayaan banget sama gue. Ngapain juga gue bawa yang aneh-aneh cuma buat beli narkoba." Revan lalu melemparkan pandangannya ke perempuan yang sedari tadi memerhatikannya, "Lagian tuh cewek dari tadi juga sudah nge-scan gue kan? Tanya aja ama dia, gue bawa apa kalo masih gak percaya."
Tidak sulit bagi Revan untuk melihat kilauan biru LED yang terpancar dari retina si Barbie—oke, gak selamanya Revan bisa kreatif dalam kasih nama. Ini bukan pertama kalinya dia harus berurusan dengan scanner selama hidupnya, dan mata Revan pun bisa dengan mudah mengenali perangkat itu ketika sedang bekerja. Tentu saja, pencahayaan yang remang di gudang ini banyak membantu, karena sulit bagi si Barbie untuk menyembunyikan cahaya yang keluar dari matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Science Fiction[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...