Kalau Revan boleh memilih, dia ingin semua orang di kepolisian dipecat. Cukup sisakan petugas kebersihan, sama mereka yang bertugas sebagai maintenance. Sisanya tidak lebih dari tinja yang cuma bisa disiram.
Lucunya semua orang di sini sudah terbiasa mencium aroma busuk itu. Tujuannya pagi ini bisa jadi adalah yang paling busuk di antara semua divisi kepolisian. Untungnya, masih ada satu orang di balik ruangan berdinding kaca ini yang Revan anggap belum sebusuk itu.
"Lia."
Perempuan yang dipanggil menoleh dengan cepat. Mulutnya menganga diikuti matanya yang menyapu seisi ruangan. Sesuai dugaan, semua rekan kerjanya melirik sinis keberadaan pencari masalah terbesar di kepolisian.
"Ngapain ke sini!" bisik Lia.
"Nepatin janji gue."
"Kita punya teknologi namanya chat. Lo gak perlu samperin gue!"
"Gue khawatir lu gak menganggap serius ancaman gue waktu itu." Revan menyedekap tangan di dadanya. "Sekarang lu tau gue gak pernah bohong kalo soal gangguin lu."
Lia melepas kaca matanya. Mengucek matanya tidak cukup untuk membuang sensasi berdenyut di kepala. Meski suara ketikan keyboard masih terdengar, bisikan halus dari rekan-rekannya tertangkap jelas oleh Lia. Tidak perlu ditanya siapa yang perlu menjelaskan gangguan pagi ini ke atasan HR.
"Kerjaan gue gak cuma bantuin lo doang, Van. Kalo gak percaya, sini gantiin gue."
Revan mengangkat tangannya. "Nah! Kenapa gak dari dulu aja. Sini kasih ke gue datanya!"
Lia menyipitkan matanya. "Gue serius."
"Liat!" telunjuk Revan mengacung ke wajah Lia. "Selama ini lu nganggep gue bercanda. Sekarang siapa yang konyol di sini? Gue cuma butuh dua nama! Udah berapa minggu lu nyari orang yang digaji sama kalian juga?" kini Revan menunjuk ke orang yang bekerja di samping meja Lia. "Kayak dia. Dia yang ngerjain payroll bukan?"
Orang yang ditunjuk membalas dengan melotot. Lebih parah lagi, Lia melihat kalau atasannya sudah mengamati kegaduhan yang berasal dari mejanya. Menyadari itu, dia menarik tangan Revan yang masih menunjuk ke meja di sampingnya.
"Lo buta? Kita diperhatiin semua orang!" keringat dingin mulai mengucur dari dahi Lia. Bisikannya pun terdengar makin keras. "Lagian gak segampang itu buat nyarinya. Lo gak—"
"Makasih karena udah ngasih tau gue betapa susahnya dapet kejelasan di sini," sanggah Revan. "Ada lagi informasi yang selama ini gak gue ketahui? Kayak langit itu biru, bumi itu bulat. Oh, atau kalo semua orang yang kerja di sini cuma bisa jawab 'gak segampang itu' tiap kali gue nanya yang harusnya jadi kerjaan mereka!"
"Lo lebih milih nyerocos terus, ato diem dan biarin gue jelasin!"
Revan merasakan tatapan tajam dari balik punggungnya. Dia tahu asal tatapan itu. Kelihatannya mengendurkan serangannya adalah langkah terbaik. Untuk saat ini setidaknya. Dia memberi satu anggukan ke Lia yang masih menanti tanggapannya.
"Lo gak tau berapa banyak data karyawan yang di shuffle selama enam bulan terakhir." Tidak seperti tadi, bisikan Lia terdengar lebih pelan. Revan sedikit membungkuk agar bisa mendengar lebih jelas. "Hampir semua divisi, kecuali tempat lo dan Satuan Taktis. Tiap level di divisi, gue bisa bilang 40% gak sama isinya dibanding sebelum enam bulan lalu."
Enam bulan? Lagi-lagi informasi yang mengonfirmasi hasil interogasinya.
"Sebelum lo motong lagi, bahkan gue masih nemu karyawan yang dipindahin dua bulan lalu. Dan enggak, gue gak tau alesannya."
"Mana bisa mereka shuffling semasif itu tanpa ketauan. Pasti ada catetannya."
"Ada..." Lia melirik sekilas. Lirikan itu yang mengarah ke belakangnya. Dia tidak perlu menoleh untuk tahu apa maksud Lia—dan kenapa Lia memelankan suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Science Fiction[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...