10

60 10 10
                                    

Beri-beri

Oy

Gimane cuy? Jadi ketemu?

Revan menghisap kembali rokok yang beristirahat di jemarinya, menunggu balasan dari pesan yang ia kirim ke Lia. Tentu saja Lia tidak mungkin membalas secepat itu. Pertama, perempuan itu sudah sangat jengkel dengan Revan, sebuah sentimen yang bisa dimengerti bahkan oleh Revan. Kedua, saat ini masih awal jam makan siang, jadi tidak mungkin Lia bisa membalas sekarang. Tapi Revan pikir, lebih baik dia kirim pesan itu sekarang sebelum dia kelupaan. Minimal biar Lia tahu kalau dirinya serius soal ancaman untuk merusak paginya.

Hembusan nafas yang Revan keluarkan diikuti dengan kepulan asap putih. Aroma dan rasa yang familier memenuhi mulutnya, bercampur dengan rasa dari sisa makan siangnya. Tembakau dan cengkeh bertemu dengan... Entah bahan apa yang mereka gunakan untuk membumbui makanan di kantin kepolisian. Apapun itu, Revan bersyukur lidahnya tidak dihantui dengan sensasi menjijikkan yang membekas.

Dirinya bersandar di dinding dekat lapangan parkir kantor, tempat favorit yang ia selalu kunjungi saat waktu istirahat. Bangunan di belakangnya ini adalah kawasan bebas asap rokok sehingga area merokok yang tersisa hanya ada di luar. Revan memilih tempat ini karena lokasinya yang cukup sepi karena cuma bisa diakses lewat pintu samping gedung—kebanyakan orang memilih untuk parkir lebih dekat dengan pintu depan.

Dia mengecek lagi HP-nya, berharap ada notifikasi dari Lia atau Gracia. Kedua polisi itu melakukan hal yang serupa, hanya beda level. Baik Gracia dan Revan paham kalau tidak ada solusi yang lebih baik dari ini, dan mereka harus belajar untuk menelan ego mereka. Bukan berarti Revan meragukan Lia, hanya saja menimbang situasi, tampaknya peluang terbesar untuk mendapatkan akses ke nama yang mereka butuh adalah dengan bantuan orang dengan pangkat yang lebih tinggi.

Sambil menunggu, dia melanjutkan rokoknya. Sesekali dia melihat beberapa orang keluar-masuk dari pintu samping kantor. Seperti yang dia duga, tidak banyak yang lewat sini. Sebagian besar adalah mereka yang ingin keluar untuk menghindari makanan yang disajikan di kantin kantor. Ada juga wajah-wajah familier yang Revan lihat, mereka yang sering Revan jumpai ikut merokok di parkiran. Tidak ada yang dia kenal, dan tidak ada yang keberatan juga. Lagipula yang mereka butuh adalah melepas rasa asam di bibir mereka.

Selesai dengan rokoknya, Revan menyalakan satu lagi. Masih ada banyak waktu sampai waktu istirahatnya selesai. Saat menyulut rokok di mulutnya, ujung penglihatannya menangkap empat orang yang datang dari belakang gedung. Keempat orang itu berseragam dengan helm full-face, rompi anti-peluru, dan pelindung dari ujung kepala sampai kaki berwarna hitam pekat. Senapan tempur model terbaru keluaran Nakamoto memiliki fitur yang sama dengan senapan produksi FN. Fitur bullpup dengan kerangka polymer, serta teknologi aim-assisstant berbentuk lensa optik sejajar dengan laras senapan yang bisa dipasang sebagai modul tambahan. Karena ukuran yang ergonomis, senapan itu bisa dengan mudah dikaitkan ke tubuh mereka, tepatnya di rompi taktis yang mereka gunakan. Mereka memilih lokasi yang lebih jauh dari gedung utama markas kepolisian, seakan ingin memisahkan diri.

Cih, tipikal cecunguk, pikir Revan. Dengan pakaian bak baju zirah modern, mereka berlagak seperti kesatria yang berbeda kasta. Ya, orang-orang itu adalah anggota Satuan Taktis Kepolisian. Tidak seperti anggota polisi macam Revan, mereka memiliki barak yang terletak di belakang markas utama. Struktur organisasi mereka pun juga berbeda, sulit tersentuh oleh politik yang berkecamuk di Kepolisian Metro, namun terbuka untuk dipesan setiap saat. Tak heran jika anggota satuan taktis selalu didandani dengan aksesoris tercanggih yang tersedia. Ketika duit lancar, kenapa tidak dihabiskan?

Mata Revan meneliti keempat orang itu. Mereka melepaskan helm dan mulai menghisap rokok pod yang mereka ambil dari kantong rompi. Tidak biasanya Revan tertarik dengan wajah-wajah yang ikut merokok di luar, tapi dia merasa beda. Posisi mereka yang jauh membuat Revan tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Jujur saja Revan sedikit penasaran, apalagi ketika dia menangkap salah satu anggota dari kelompok itu yang ikut menatap balik Revan.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang