18

46 8 6
                                    

Mata Gracia menyapu ke papan catur di hadapannya. Dia pernah terjebak dalam situasi yang sama. Atau benar begitu? Seingat dia, bidak yang ia miliki tidak sedikit seperti sekarang. Raja hitamnya terjebak di tengah papan; kuda hitam menjadi penjaga yang berada di dekatnya. Sisa pion yang Gracia miliki ia kerahkan untuk segera ke ujung papan.

Kondisinya jauh lebih parah dari permainan sebelumnya. Di mana letak kesalahannya kali ini? Ketika ia mencoba menggali langkah sebelumnya, pikirannya tidak bisa menemukan satu kesalahan. Bisa jadi dari awal ia sudah keliru melangkah. Manik cokelatnya melirik ke ujung ruangan, di mana lawannya masih sibuk menatap pemandangan Metro Jakarta.

Merasa tidak punya pilihan, Gracia menggerakkan salah satu pionnya. Dalam tiga langkah lagi, dia bisa mengganti pion itu. Selesai dengan langkahnya, Gracia menunggu. Tak lama, seakan dia bisa tahu kalau Gracia sudah selesai, lawannya berjalan kembali ke papan.

"Kamu yakin tidak ada yang tahu identitasmu?" Alex lalu memindahkan kuda putihnya agar mengancam Raja milik Gracia. Skak. Gracia terpaksa memindahkan Rajanya agar aman, sambil mengangguk sebagai balasan pertanyaan komandannya.

"Dia cuma menebak?"

Gracia mencoba mengingat kembali konfrontasinya dengan Mickey Mouse. Tak ada satu momen yang melintas di kepalanya, di mana dirinya dan Revan secara terbuka membocorkan penyamaran. Sepertinya Mickey cuma menebak ketika Revan menggertak, seakan-akan dia tahu siapa yang membunuh Vox—dan secara tidak langsung, juga mengincar Mickey.

"Tampaknya begitu pak."

"Di antara semua kemungkinan, dia menduga kalau kamu adalah orang bayaran korporat," ucap Alex. Matanya menyisir ke luka di sekujur lengan Gracia, sebelum pindah ke papan catur. Ia lalu menggerakkan pionnya untuk mencoba mengancam kembali Raja hitam.

"Benar pak. Semuanya memperkuat dugaan kalau ada keterlibatan perusahaan di jejaring kasus ini." Gracia kembali menggerakkan Rajanya. Perhatiannya terbagi antara permainannya dan argumen yang ia sudah siapkan.

"Kita polisi, bukan cenayang. Pengakuan orang yang mati tidak cukup untuk menuntaskan fiksasimu."

Jantung Gracia berhenti untuk sepersekian detik. Tangannya mencengkeram sudut papan dengan sangat kencang. Gracia menundukkan kepalanya, berusaha untuk menghindari kontak mata dengan Pak Alex. Yang ia bisa lihat hanya pergerakan Menteri putih yang kini sudah memakan Kudanya yang terakhir.

"Sejauh mana kamu mau meneruskan pencarianmu?"

Kali ini Gracia tidak bisa menghindar. Mau tak mau dia harus menatap komandannya. Dia tidak bisa melihat di balik topeng yang Pak Alex selalu kenakan, bak lanskap dingin nan tandus, hampa tanpa emosi. Tapi sorot tajam itu, Gracia tahu Pak Alex berhasil menembus pertahanannya. Gracia mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu ini akan terjadi. Dia sudah mempersiapkan apa yang harus ia sampaikan.

Gracia lalu memberanikan diri menatap balik komandannya. Dia menarik nafas dalam untuk mengumpulkan semua keyakinannya. "Sampai hukuman diberikan ke orang yang pantas menerimanya."

Entah apa yang terjadi dibalik wajah dinginnya. Gracia tidak peduli karena dia mengatakan yang sebenarnya. Pak Alex cukup tahu sejauh itu. Tetap saja itu tak mengubah fakta kalau dirinya sedang menanti reaksi komandannya.

Detik berlalu dalam keheningan. Jujur Gracia sudah lupa kalau sekarang gilirannya untuk bergerak. Dia juga baru sadar kalau hanya tersisa Raja dan dua pion yang ia miliki. Tidak mungkin dia bisa menang dengan posisinya yang begitu buruk.

Alex tampaknya menyadari mata Gracia yang lebih sibuk bergerak dibanding tangannya. Gracia tidak tahu apakah ekspresi datar komandannya ini karena dia sedang memikirkan tanggapan untuk pernyataan Gracia, atau sedang menunggu Gracia menuntaskan gilirannya.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang