33

61 6 11
                                    

Revan ingin kembali. Sebelum semua ini. Sebelum... dia menjadi seperti sekarang.

Saat ini, dia bukanlah Revan. Hanya pecundang payah, dengan rokok di tangan kanan, dan dosa yang membebani tengkuknya.

Rasanya pahit. Asap yang melewati lidahnya dan bersarang di paru. Apa dia berhenti? Jelas tidak. Bibirnya jauh lebih mesra dengan sebatang nikotin dibanding kekasihnya sendiri.

Tubuhnya mengigil. Angin itu datang lagi. Tuhan belum puas menghukumnya di kos Dirga, sekarang dia harus berhadapan dengan hujan?

Andai semudah itu. Angin ini tidak berubah. Tidak ada badai atau gerimis yang akan datang. Lagi pula, bukan sinyal reseptor suhu di kulit yang membuatnya mengigil. Asalnya dari kepala. Titik yang sama yang menenggelamkan suara logisnya.

Gagal...

Salahmu...

Akhirnya suara itu kembali. Bak seorang anak yang merindukan orangtuanya, Revan membuka tangannya dan merangkul suara itu. Karena memang benar. Putar waktunya ke belakang, dan siapa pun bisa melihat apa yang berubah.

Tidak ada. Tubuhnya mungkin berubah—garis di wajahnya semakin tampak, rambut kecil kembali menghiasi dagunya—tapi semua itu hanyalah kosmetik. Kupas bungkusnya, dan segala macam sampah menyambutnya. Dan layaknya sampah, menghiasnya dengan pernak-pernik tidak akan membuat baunya hilang. Dia harus dibuang, tidak ada pilihan lain.

Kenapa, kalau begitu, Revan tidak membuangnya?

Revan mendongak. Kulit kepalanya bertemu dengan dinding belakang gedung markas. Langit siang ini mulai berawan. Suara hujan terdengar jauh, sepertinya dari Jakarta Selatan. Seharusnya dia masuk ke dalam. Tapi dia tahu, mustahil dia sanggup menahan keinginan untuk memecahkan kepala komandan cybercrime dan mengencingi jasadnya, lalu membakar seluruh markas. Mungkin tidak seluruhnya. Kalau dia bisa membawa Eli pergi, baru dia bisa bakar total.

Eli. Sial. Apa Dirga benar? Bukan, harusnya pertanyaannya adalah: seberapa benar ucapan Dirga?

Lagi-lagi dia menggigil. Sensasi beku yang kini datang dari tulang belakangnya, tepat di dasar otak, lalu menjalar ke tiap tepi tubuhnya. Jawaban pertanyaannya sudah jelas. Kalau Dirga yang sudah cukup lama bekerja di sini—dan sangat patuh—saja bisa dijadikan dibuang, Eli bisa bernasib lebih parah.

Dirga benar. Eli tidak pantas menerima nasib yang sama. Tapi apa lagi pilihannya? Kalau bukan karena kasus terkutuk ini, semuanya tidak akan serunyam sekarang. Revan saja tidak pernah mau mengambil pekerjaan ini! Semua ini karena polisi cebol sialan yang—

Tunggu... Gracia terakhir kali membahas Divisi Cybercrime saat bertemu dengan Pak Alex. Tak lama setelahnya, surel pemberhentian Dirga. Serapi itukah kebetulannya? Karena kalau bukan kebetulan, ada satu nama yang menghubungkan dua kejadian ini.

***

Semuanya nyaris berjalan sesuai rencana. Bukan seperti yang Gracia harapkan, tapi artinya petinggi kepolisian punya PR yang lebih besar untuk diurus. Harusnya ini cukup untuk mengalihkan perhatian mereka dari Lulu dan investigasinya.

Tapi, kenapa semudah itu? Iya, memang butuh waktu lama untuk menjebak Pak Daud dan divisinya. Gracia membayangkan dia memberi perlawanan balik. Secepat ini dia takluk? Rasanya tidak masuk akal. Orang macam dia tidak mungkin berhenti sebatas menumbalkan satu orang, apalagi dengan akses ke semua teknologi di kepolisian.

Bisa jadi ini yang Pak Daud inginkan. Memancing Gracia keluar dari kastelnya. Untuk sekarang, fokusnya adalah mendalami keterkaitan Bandeirantes, khususnya Nossa Senhora. Langkah pertama: mengumpulkan sebanyak mungkin intel soal Babel.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang