27

77 6 4
                                    

Apa yang Gracia tahu soal kasus ini? Semua bukti yang ada—atau tidak ada—mengarah ke kesimpulan kalau ada yang ingin membungkam Hasan. Ini lagu lama, dan sangat mungkin semua pihak yang punya pengaruh menginginkan kematiannya. Tapi Gracia tahu, hanya karena seseorang ingin Hasan mati, bukan berarti mereka yang membunuh Hasan.

Di kota yang penuh predator, Gracia tidak kehabisan opsi tersangka. Menunjukkan semua nama itu tidak akan membantunya meyakinkan kejaksaan. Dia belum memikirkan ini sampai ke sana, tapi jika kasus ini mengarah sesuai dugaannya, dia akan membawa dakwaan terbesar yang kota ini pernah lihat sejak Corpo War selesai.

Bukan berarti itu yang membebani pikirannya. Lensa media yang mengikuti kasus ini tidak mungkin menyorotnya, dan sejauh ini pihak yang lebih diuntungkan oleh publisitas yang ada justru menjadi pihak yang membebani kasus ini. Gracia bisa saja membawa nama perusahaan itu, sekadar memuaskan telinga mereka. Buktinya sangat minim dan belum mengarah ke jawaban konklusif, tapi hanya perusahaan itu saja yang punya motivasi kuat untuk membunuh Hasan.

Ucapan Illia menggema dari balik kepalanya. Sepinya ruangan divisi arsip membuat suara itu jauh lebih terdengar. Apa maksud ucapan Illia? Dia seakan mengatakan kalau bukan Zeno-Lan yang terlibat. Pada saat yang sama, dia tidak mengatakan kalau Bandeirantes yang bertanggungjawab. Jika bukan kedua itu—dan kedua itu yang muncul dalam investigasinya—lalu siapa lagi yang tersisa? Siapa yang Illia maksud?

Gracia tidak bisa menunggu lebih lama. Dia mencari kontak yang sampai sekarang belum menepati janjinya.

"Mana datanya?"

"Lu gila? Baru juga kemarin lu minta."

Gracia memijat pangkal hidungnya. Helaan nafasnya mengembun karena dinginnya suhu ruangan. "Van, kita harusnya udah dapet data itu berminggu-minggu lalu."

"Dan lu berharap gue bisa dapet semuanya kurang dari 24 jam?" nada tinggi Revan diselingi dengan suara menghisap dan meniup. Dari suara percakapan yang terdengar samar, Gracia menduga Revan sedang merokok di luar. "Gue gak cuma ngurus data ini doang. Kita masih punya dua orang buat dimintain keterangan."

Gracia berhenti memijat. "Keterangan?"

"Iya. Kita belum dapet keterangan dari shift patroli yang nemu mayatnya Hasan. Mereka udah gak di unit patroli dan datanya masih disimpen sama petinggi divisi baru mereka. Temen gue lagi ngorek datanya, cuman dia bilang kalo petinggi kita mulai keganggu karena ada banyak yang nanya kayak gini."

Tangan Gracia mengepal. Harusnya dia tidak terkejut. Namun, mendengar itu dari Revan membuatnya tersadar kalau dia perlu berhati-hati. "Siapa yang nyuruh lo nyari data itu?"

"Nyuruh?" nada Revan meninggi. "Gue baru tau kalo gue perlu minta izin dulu, Inspektur Gracia. Apa lu mau gue menyerahkan inisiatif gue juga ke tangan lu?"

Pijatannya berubah menjadi usapan di wajah. Gracia benar-benar tidak tertarik meladeni pertanyaan Revan. "Lo boleh komplain setelah kasusnya selesai. Sekarang dengerin gua, fokus buat dapetin data yang gua minta."

"Masih gak menjawab pertanyaan gue."

Rasanya seperti ada pembuluh di kepalanya yang pecah. Gracia memelankan tempo nafasnya yang mulai memacu. "Kalo temen lo ngulik terlalu jauh sampe kita semua akses kita ditutup, gak ada kasus lagi yang bisa kita pegang."

Panggilan itu langsung Gracia tutup. Tidak ada lagi yang perlu dia sampaikan ke Revan. Masih ada urusan lain yang menantinya setelah ini.

Seakan mendengar pikirannya, pintu ruangan arsip terbuka. Lulu datang membawa tas selempang. Dia dengan mudah menemukan satu-satunya kehidupan di ruangan berisi CPU.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang