Dia tidak perlu mengetuk pintu di depannya untuk memanggil pemilik tempat ini. Baru saja satu kakinya menapak dan pintu itu sudah terbuka. Tanpa diundang, dia melangkahkan kakinya ke dalam ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya dari monitor PC. Kilau dari monitor membentuk sebuah siluet dari orang yang duduk di depannya. Bukan hanya satu, paling tidak ada tiga monitor berjajar yang semuanya berisi barisan kode atau deret angka. Walaupun terhalang, dapat terlihat pergerakan kecil dari tengkuk orang itu kala perhatiannya berpindah dari satu monitor ke monitor lainnya.
Mendengar pintunya tertutup, sang pemilik tempat menyahut ke sosok yang datang, tanpa membalikkan tubuhnya. Suara yang terdengar lelah namun dicoba diobati dengan asupan kafein dalam dosis tidak manusiawi, menyambut pendengaran sosok yang datang. Dia tak akan bohong kalau dia merindukan suara ini.
"Udah siap kan?" tanya sosok ini ke juru komputer di depannya. Hanya ada balasan sarkastis yang ia terima. Awalnya, lawan bicaranya ini menganggap lucu bertanya kesiapan dirinya, padahal bukan dia yang meminta menunggu. Lalu dia mengoceh soal mengetes kesabaran, sebelum berpindah topik ke bahasan filosofis layaknya seorang dosen yang sedang mengajar. Dengan cepat ocehan itu dipotong—dia tidak datang untuk mendengar kuliah.
"Iya iya ngerti, lo udah siap. Kita tinggal tunggu aja tanggal mainnya."
Sekarang sosok itu berpaling dari layarnya untuk menatap tamunya. Saat dirinya dihubungi beberapa waktu lalu, dia tidak percaya dengan yang didengarnya. Betapa optimis tamunya ini soal perubahan nasib, soal momentum yang bisa mereka manfaatkan. Dirinya sudah lama mendengar kata itu dilontarkan oleh rekan-rekannya, tapi katalis itu tidak pernah datang. Api yang dia kira akan meledakkan bubuk mesiu itu sudah padam tanpa ada harapan bisa nyala kembali. Sekarang dia disambangi malam-malam untuk membahas perkara yang harusnya sudah tuntas dari lama. Jadi, jangan salahkan dirinya bila sedikit skeptis.
"Percaya sama gua. Feeling gua bilang kalo tanggal mainnya gak akan lama," ucap sang tamu. Iris sang tamu menyala dalam gelap dan tak lama sebuah file terkirim ke komputer di depannya. Sebuah rekaman muncul yang menampilkan dua orang di sebuah lorong yang remang. "Liat kan? Gua juga sama kagetnya kayak lo. Mereka keliatan beda dari yang lain."
***
Siapa sangka kalau Gracia sudah datang ke kantor sepagi ini. Tidak ada yang aneh bagi Revan, sampai dia menyadari sesuatu. Pakaian yang Gracia kenakan terlihat... Familier. Persis seperti yang dia kenakan kemarin.
"Anjir, lu nginep di sini Gre?" tanya Revan tak percaya. Secangkir berisi kopi, tablet yang tergeletak di meja dalam kondisi menyala, rambut yang diikat sembarangan, serta semua coretan di pembatas hologram—Revan sudah mendapat jawaban dari pertanyaannya sendiri.
Revan berjalan ke Gracia yang masih membelakanginya. "Gre? Oy?" ucap Revan yang ragu apakah temannya itu masih terjaga.
"Lo udah ngecek file yang gua kirim?"
Otak Revan korselet sejenak karena pertanyaan tak terduga itu. "Ngecek? Ngecek apaan? Gue aja baru nyampe!"
"Kalo gitu buruan duduk dan liat komputer lo."
Revan membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Percuma mau membantah orang sinting. Ingat, Revan harus lebih waras dari polisi cebol sialan ini. Revan memilih untuk menuruti Gracia sambil mengumpat dalam hati. Dia membuka komputernya dan menemukan file baru yang masuk ke folder mereka berdua. Saat dibaca, isinya tidak beda jauh dari yang biasanya ia temukan dalam folder kasus. Ada BAP dan surat keterangan terkait mengenai pihak pelapor serta isi perkara. Yang membuat Revan menggaruk kepalanya adalah perkara kasus ini tidak sama dengan yang mereka kerjakan sekarang. Tahun yang tercantum di nomor kasusnya pun juga menunjukkan kalau kasus ini usianya sudah sangat tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Science Fiction[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...