31

113 6 24
                                    

"Ada yang masuk ke kafe?"

Revan mengecek label di belakang botol. Ibuprofen. Gracia masih bisa mengonsumsi obat ini 'kan?

"Gak, Jinan udah lama nyegel pintu basement. Bener aja, masih ada orang yang tau lokasinya." Suara Feni bergetar. Telinganya memanas. Setelah yang terjadi sore ini, Revan ingin sekali menemui kekasihnya.

"Aku bakal lapor buat ngirim unit ke sana secepatnya."

"K-kayaknya mobil polisi gak bisa masuk. Toko di depan ada yang jarah. Mereka lepasin tembakan... sampe sekarang gak ada polisi yang dateng."

Sayup terdengar teriakan dan kaca pecah dari balik telepon. "Yang jarah masih ada di sana?"

"U-udah enggak... tapi..." Feni berhenti karena gedoran di pintu kafe, "oh... tadi tetangga. Tapi tadi ada banyak yang masuk ke gangku, teriak-teriak dan nyoret rumah."

Revan menyerahkan obat dan beberapa lembar uang kertas ke kasir. "Jangan keluar. Jangan jauh-jauh dari Jinan. Nomor—"

"Bisa cashless?"

Revan menatap si kasir seperti diberitahu kalau bumi itu bulat. "Songong bener lu, tempat kayak gini belagak gak mau nerima cash!"

"Van, lagi di mana?"

"Lagi di luar."

"Van..."

Dia meringis. Feni tahu betul titik lemahnya. "Ada yang perlu aku urus sama Gracia. Aku... aku baik-baik aja. Pokoknya standby sama HP, telpon kalo kamu butuh apa pun."

Gerimis menyambut Revan saat dia meninggalkan apotek. Seperti biasanya, setiap habis hujan, serangga mulai bertebaran. Jalanan di depannya penuh dengan lalu-lalang dan hiburan malam dengan musik yang terdengar dari luar.

Langkahnya berujung ke gang di samping apotek, ke rekannya yang tersungkur sambil memijat kepalanya.

"Gue gak tau ini ngaruh atau enggak," ucap Revan sambil menyodorkan obat yang ia beli.

"Lo beli apa?" Gracia mengernyit ke label di botol, "harusnya bisa."

Revan menyulut rokoknya. Jam sudah mendekati tengah malam dan tempat ini masih terlihat hidup. Comm keduanya pun sibuk dengan panggilan darurat serta peringatan mengenai pengerahan Satuan Taktis ke Distrik Jakarta Barat.

"Kita gak bisa lama-lama di sini."

Gracia mendongak. Revan seolah berputar-putar, meliuk dan berubah bentuk di pandangannya. "Gua gak berencana nginep. Malem ini kemungkinan Satuan Taktis masuk ke sini. Cuman ini peluang kita."

"Ini soal Feni."

Gracia memaksa berdiri. Sudah lama dia tidak mendengar nama itu. "Gimana kabarnya?"

"Empat tahun dan belum pernah ada yang ngejarah gang kecil itu." Revan bermain dengan asap yang ia kepulkan. "Kota ini udah gak beres kalo ada yang demo. Di Jaksel pula."

Tawa menggelegar dari bar di seberang gang mereka. Plang neon berbentuk paha perempuan yang menyilang bertengger di atas pintu. Tepat di depan gang ini adalah bar yang disebut Rize, dan jika dokter itu benar, orang yang mereka cari sedang ada di dalam.

"Terlalu riskan kalo kita langsung masuk ke dalem."

"Kita juga gak tau apa bener yang kita cari lagi di sana." Revan penasaran dengan bangunan bertingkat yang, dia duga, apartemen yang mengapit bar ini. Salah satu jendela yang menghadap ke bar itu dibiarkan terbuka, berbeda dengan jendela lainnya. "Tapi kalo Rize ngasih info yang sama ke Mas Anto dan Mas Yura, mereka juga ngintai tempat ini."

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang