23

40 6 0
                                    

Content warning: Part ini mengandung deskripsi adegan kekerasan yang cukup grafis. Ada potensi adegan ini untuk memicu reaksi psikis bagi kalian. Jika kalian keberatan dengan adegan seperti itu, silakan lewati part ini. Bagi kalian yang ingin melanjutkan, perlu diingat kalo apa yang ada di cerita ini adalah fiksi.

Diskresi pembaca sangat dianjurkan.

***

Menjadi polisi tidak seenak yang dikira kebanyakan orang. Iya, keuntungan terbesar adalah izin membawa senjata api di kota ini, yang berarti persentase bertahan hidup meningkat sebesar 0,3% dibanding populasi pada umumnya. Sialnya, pembunuh terbesar polisi berada di dalam markas: birokrasi.

"Totalnya jadi 50 ribu AD."

"Anjing! Kok naik?"

Seluruh pegawai audit di ruangan menengok ke Revan yang mengumpat. Tanpa rasa bersalah, Revan menghiraukan tatapan tidak suka yang membidiknya. Perhatiannya adalah petugas yang dengan enteng mengucapkan tagihan yang ia harus bayar.

"Sistem udah ngitung berapa peluru tajem dan karet yang lu tembakin."

"Ada yang salah sama sistemnya. Kok sampe 50 ribu?"

"Ini total akumulasi selama dua bulan yang lu belum bayar."

"Jadi, tagihannya naik gara-gara semalem?"

Petugas itu mengangguk.

"Kalian emang lebih seneng gue mati? 50 ribu cuma buat peluru doang?"

Petugas itu menghela nafas. "Van, gue terjebak di kerjaan ini selama enam tahun. Enam tahun gue cuma ngejalanin perintah atasan, enam tahun gue dapet caci maki dari polisi kayak lu. Menurut lu nih, emang masih ada ruang di pikiran gue buat peduli sama nasib lu?"

Revan menelaah petugas itu. Guratan di wajahnya menunjukkan akumulasi tekanan batin yang dia terima. Revan tahu orang itu sudah lelah dengan pembahasan ini. "Ya udah, gue bayar sebulan pertama dulu."

"Lebih murah kalo gitu. Lu cuma bayar seribu AD."

"Itu belum murah namanya," ucap Revan selagi meraih dompetnya.

"Ngapain?"

Revan menatap bingung petugas itu. "Bayar tagihan gue? Gue mau nyicil sebisanya."

"Gue keliatan kayak gembong narkoba?"

Mendengar itu membuat Revan berhenti menghitung uang kertas yang ia simpan. "Ya Tuhan, ini duit resmi!"

"Melek dikit Van. Gue gak mau dituduh nilep duitnya kalo transaksi ini gak kedeteksi sama markas."

Keduanya saling adu tatapan. Revan tidak menutupi rasa kesalnya. Petugas itu tampaknya tidak tergoda untuk meladeni kekesalan Revan.

"Langsung potong gaji gue aja dah!"

Revan benci hari ini. Sekujur tubuhnya terasa kaku dan nyeri akibat semalam. Satu hal yang dia syukuri adalah mayoritas lecet di tubuhnya berhasil sembuh karena salep yang ia terima. Tangan kirinya masih sakit, tapi tidak separah sebelumnya. Dia hanya ingin hari ini segera berakhir agar dia bisa menuntaskan hutang tidurnya.

Gracia pasti sudah menunggunya di kantor. Sebelum dia masuk ke lift, Revan menerima panggilan dari ponselnya. Nama Dirga tertera di panggilan itu. Comm-nya masih rusak? pikir Revan. Tidak biasanya Dirga menghubunginya lewat ponsel.

"Ada apa?"

"Apa yang lu lakuin ke Eli?"

Alis Revan terangkat. Dia kemudian memasuki lift yang baru datang. Tidak ada seorang pun kecuali dirinya di lift ini. "Gue gak tau yang lu omongin."

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang