[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit]
Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...
Deru mesin helikopter menjadi satu-satunya yang menemani Gre dalam lamunannya. Sudah ada dua yang melintas di atasnya, melayang rendah di atas tempat kejadian perkara. Kilauan merah dan biru dari banyaknya sirene kendaraan polisi yang terparkir mengelilingi gudang seakan memberi warna di tempat yang suram ini.
Semuanya tampak buram bagi Gre. Dari tadi pikirannya tidak fokus, belum lagi masih terasa sisa adrenalin di pembuluh darahnya akibat pertarungan beberapa menit lalu. Dia bahkan tidak begitu ingat apa yang terjadi setelah truk berisi narkoba itu ditahan oleh kabel dari salah satu helikopter kepolisian. Sepertinya ada beberapa petugas yang ia ajak bicara—bukan bicara juga sih, tapi lebih ke memberi perintah untuk mengamankan semua tersangka. Setelah itu, Gre berjalan dalam mode otomatis, tidak sepenuhnya sadar ke sekelilingnya. Tiba-tiba dia sudah berada di ambulans yang terparkir tidak jauh dari pintu gudang. Seorang petugas di ambulans awalnya ingin bergegas masuk saat mendengar bahwa salah satu tersangka dalam kondisi kritis. Namun saat dia melihat Gre yang sudah menunggu, petugas itu mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk merawat Gre. Tentu saja tidak banyak yang petugas itu bisa lakukan. Luka di lengannya hanya sebatas sobekkan di permukaan kulit, tapi kerusakan yang sebenarnya ada di kerangka besi yang awalnya tertutup kulit lengan.
Perban dan obat merah jelas tidak akan bekerja, jadi Gre hanya minta sebuah plester untuk menutupi sayatan di pipinya. Petugas itu menuruti dan memberikan Gre satu plester, sebelum meninggalkannya untuk menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. Jadi, di sinilah Gre sekarang—duduk di dalam ambulans yang pintu belakangnya sudah terbuka. Momen ini ia gunakan untuk menenangkan dirinya, membawanya secara perlahan kembali ke realita saat ini. Lambat laun semuanya mulai menjadi lebih jelas di mata Gre. Banyaknya mobil polisi dan personil yang lalu lalang untuk mengamankan tempat kejadian membuatnya teringat ke sumber stresnya dalam dua jam terakhir.
Gre tidak bodoh. Jumlah sumber daya yang diturunkan sangat jomplang dengan yang sebenarnya dibutuhkan olehnya. Pimpinan dari Divisi Narkotika sangat kekeuh untuk mengerahkan semua 'tenaga terbaik mereka'—gak bisa disalahkan juga, mengingat ini adalah kasus mereka. Iya, Gre dan Revan hanya diminta untuk membantu kasus ini sebagai 'tenaga ahli'. Setidaknya itu penjelasan resmi yang diberikan, padahal semua orang tahu keterlibatan divisi Gre dan Revan dikarenakan kasus ini tidak menunjukkan perkembangan yang jelas. Mungkin semua personil dan helikopter ini adalah satu-satunya cara buat Divisi Narkotika untuk memamerkan kontribusi mereka, sekecil apapun itu dampaknya ke penyelesaian kasus ini. Waktu yang habis karena debat kusir antara Gre dan komandan divisi, ditambah mobilisasi tim yang ikut memakan waktu, hampir membuat Gre terlambat untuk menemui Revan.
Terlambat. Satu kata itu masih terulang di benak Gre. Perasaan tidak enak itu kembali lagi, mengisi kepala Gre layaknya awan hitam yang menutupi mentari ketika hujan. Kali ini Gre tidak berniat untuk menepis langit hitam itu, membiarkan hujan turun menggenangi pikirannya. Di satu sisi Gre merasa dirinya yang salah, tapi separuh dirinya berkata kalau saja Revan mau menuruti ucapannya, mungkin semua ini bisa terhindarkan. Ya memang bukan salah Revan yang membuat Gre telat, tapi kan sikap Revan yang gegabah justru nyaris mencelakakan dirinya dan kasus ini. Setidaknya begitu proses berpikir Gre yang membawanya dari menyalahkan diri sendiri, ke menyalahkan rekannya. Masih ada perasaan tidak enak yang mengganjal, tapi dengan mengarahkannya ke Revan, paling enggak sedikit bebannya jadi terangkat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.