5

101 12 3
                                    


Jam makan siang mereka sudah habis, tapi bukan berarti Gracia dan Revan akan segera kembali ke kantor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam makan siang mereka sudah habis, tapi bukan berarti Gracia dan Revan akan segera kembali ke kantor. Gracia merasa ada yang janggal dengan olah TKP dari kasus yang sekarang mereka pegang. Memang ini sebuah ide gila—6 bulan adalah waktu yang sangat lama untuk melakukan olah ulang TKP—tapi Gracia tidak punya pilihan lain. Dia harus melihat sendiri tempatnya.

Jalanan yang mereka tempuh untungnya tidak terlalu padat karena masih jam kerja. Jalan protokol yang mereka ambil dipayungi oleh gedung perkantoran dan pencakar langit di sisi jalan. Monorail saling menyilang di atas jalan raya, dan sesekali akan ada helikopter atau hovercraft yang mengudara. Suasana bak hutan beton ini berubah ketika mobil yang dikendarai Gracia dan Revan keluar dari jalan besar dan memasuki area perkampungan yang berderet di belakang gedung perkantoran.

"Anjing lu Gre. Bener-bener bangsat lu," cuma itu yang keluar dari mulut Revan. Bahkan, cuma kalimat itu yang dia ulangi sepanjang perjalanan mereka. "Empat tahun lu gak pernah ngerjain gue. Sekalinya iya, lu bikin gue berantem sama Feni!"

Gracia sendiri tidak menanggapi keluhan Revan, walaupun ada rasa senang karena berhasil menggoda rekan kerjanya. Tidak, biarkan Gracia menikmatinya dalam diam.

"Lu tau gak sih apa yang bikin gue kesel? Feni ngira gue main di belakang dia Gre! Bukan cuma selingkuh, gue juga dikira gay!" oceh Revan dengan tangan yang melambai ke mana-mana saking marahnya. Seperti biasa, sebatang rokok setia menemani tangannya. "Padahal gue jujur kalo yang megangin Pablo tuh mukanya kek beruk! Lu liat sendiri kan waktu itu? Kayaknya pas beruk-beruk di dunia dapet jatah berevolusi, cuma nenek moyangnya dia doang yang ketiduran, makanya turunannya masih kek beruk!"

Kekehan pelan berhasil lolos dari bibir Gracia. Secepat mungkin dia membenarkan ekspresi datar yang ia pertahankan dari tadi. Revan yang menyadari temannya yang kelepasan—walau sekilas saja—menjadi tersenyum dalam hati. Pikirnya, ia masih beruntung bisa memberi tawa ke Gracia yang sepertinya selalu di bawah tekanan.

"Makanya, jangan pernah ngomongin kehidupan gua, dan gua juga gak akan ngomongin kehidupan lo," ucap Gracia dengan nada mengancam. Aslinya dia tahu kalau Feni tidak mungkin semarah itu ke Revan—beruntung sekali rekannya bisa memiliki pacar pengertian seperti Feni. Dia pun tidak begitu tertarik dengan kehidupan asmara seorang Revan. Cuma Gracia tidak bisa bohong, sekali dia mencoba jahil, ternyata seru juga ya?

"Nyenyenye. Gua niatnya baik lho padahal, biar lu bisa punya cemewew. Kurang sayang apa coba gue sama lu?"

Ocehan mereka berhenti ketika Gracia mulai melambatkan mobilnya. Jalanan di perkampungan ini hanya cukup untuk dilewati dua mobil. Bahkan menyebut area ini sebagai perkampungan juga tidak cukup untuk menggambarkan kondisi tempat ini. Barisan bangunan terbengkalai, baik itu rumah atau pertokoan, menghiasi sisi jalan. Ada beberapa gang kecil yang terbentuk antara bangunan yang mengarah kembali ke jalan protokol.

Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah gang. Gracia mengecek tabletnya untuk memastikan bahwa ini tempat yang benar sesuai dengan dokumen yang dia miliki. Matanya dengan jeli menelusuri trotoar dan jalanan beraspal ini. Tak lama, ia menemukan tanda yang menunjukkan kalau mereka sudah sampai di TKP. Sebuah noda kemerahan masih tercetak, walaupun sangat samar. Cuma di titik ini saja yang memiliki noda merah itu.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang