[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit]
Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lagi-lagi paginya Revan sudah diisi dengan masalah. Kali ini dia tidak bisa cuma diam dan menunggu. Sejak datang ke markas, cuma satu tujuannya. Dia mendatangi sebuah ruangan yang berada di lantai paling atas, dekat dengan ruangan jajaran komisioner kepolisian. Tidak semua komisioner atau perwira berbintang memiliki kantor di sini—Pak Alex adalah salah satu yang memilih bilik di ruangan yang sama dengan anggotanya. Lantai ini dikenal sebagai Alam Penghakiman bagi anggota yang 'kena kasus'. Jadi kalau ada orang yang tidak berpangkat sedang nongkrong di sini, besar kemungkinan mereka akan kena surat cinta. Revan sampai hafal di mana tempat duduk yang biasanya ia pilih ketika dirinya dipanggil ke sini. Tiba-tiba gelombang nostalgia mengisi pikiran Revan, membawanya kembali ke masa lampau, jauh sebelum dirinya dipasangkan dengan Gracia.
Tapi bukan itu yang harusnya ia pikirkan sekarang. Ada urusan yang lebih penting lagi. Dia memasuki ruangan dengan pembatas kaca sebagai dinding. Di balik dinding kaca itu adalah ruangan berkonsep open office; satu-satunya di markas ini yang bukan dikhususkan untuk pejabat eselon tinggi. Ruangan ini bahkan memiliki pantry khusus sehingga pegawai tidak perlu berbaur dengan anggota jelata lainnya. Beginilah efek berada di lantai yang sama dengan orang elit, sedikit banyak pasti kena cipratan fasilitas kelas kakap. Itu sih versi sopannya, karena semua orang tahu kalau penghuni ruangan ini adalah jongosnya para petinggi.
Di antara kacung-kacung ini, setidaknya ada satu orang yang Revan masih percaya. Ironisnya adalah justru dengan orang itu Revan sedang memiliki masalah. Dia menghampiri sebuah meja, di mana seorang perempuan berwajah oriental tampak sibuk mengetikkan sesuatu. Pakaian polisi yang perempuan itu kenakan memiliki satu perbedaan dari seragam lain di ruangan ini, yaitu badge pangkat yang tidak terpasang. Pipi perempuan itu memiliki fitur unik yang selalu terlihat menggembul tanpa dibuat-buat. Garis rahangnya juga melancip ke bawah, mengingatkan Revan ke bentuk buah stroberi. Dalam kesempatan lain Revan biasanya akan mengejek perempuan itu dengan panggilan 'Beri', tapi sekarang bukan saatnya.
"Lia," panggil Revan. Perempuan itu menoleh, menatap Revan di balik kacamata tebalnya.
"Ada masalah apa lu sampe dateng ke mari?" ucap Lia yang melanjutkan pekerjaannya. Saat Revan tidak segera memberi balasan, perempuan itu mengecek kembali kondisi orang yang memanggilnya. Benar saja, Revan masih berdiri, tangan menyilang di dada, dan mata yang menatap tajam. Sadar mengenai maksud Revan, Lia menggestur ke kursi di depannya.
"Duduk", titah Lia ke Revan. Pria itu menurutinya dengan anteng, walaupun tatapan tajam itu masih dilayangkan ke Lia. Dia menunggu Lia menyelesaikan ketikannya di komputer. Tak lama sebuah layar hologram muncul dari atas meja, diarahkan ke Revan.
"Tuh, sampe sekarang belum ada balesan dari unit patroli soal permintaan kalian," ucap Lia. Saat ini, Lia sedang menampilkan isi email yang Revan kirim ke pimpinan unit patroli, dengan meng-CC Gracia dan Lia. Sekitar tiga hari lalu, sesuai permintaan dari pimpinan unit patroli, Revan mengirimkan lampiran berupa surat kuasa yang ditandatangani oleh Pak Alex selaku komandan divisinya dia. Namun sudah berganti pekan dan belum ada balasan lagi.