14

40 7 0
                                    

Sebuah mobil buggy baru saja melintas di depan mereka dan berhenti tepat di depan bar yang barusan Gracia serta Revan kunjungi. Seorang sopir dan penumpang di sampingnya turun, berjalan ke bar di belakang. Keduanya mengenakan jas hujan dengan tetesan hujan yang mengalir. Mereka berjalan masuk, berpapasan dengan Gracia dan Revan, sebelum duduk di samping meja yang barusan ditinggalkan kedua polisi itu.

Selama perjalanan menuju target mereka, Gracia merasa ada yang aneh dengan kedua orang yang mereka temui. Dia menengok ke belakang untuk memastikan. Ternyata kedua orang itu duduk bersama tiga orang lain yang sudah berada di dalam bar bersama Gracia dan Revan. Kelima orang itu menjadi satu-satunya yang masih mengenakan jas hujan di dalam bar.

"Lu ngerti kan harus ngapain?"

Pertanyaan dari rekannya membuyarkan konsentrasi Gracia. Tidak disangka kalau mereka sudah menyeberangi persimpangan dan tinggal beberapa meter dari target mereka.

"Gak. Dari awal gua juga gak setuju sama rencana ini."

Revan menggelengkan kepalanya. Dia lalu menyulut satu batang rokok—entah berapa yang sudah dia habiskan karena Gracia tidak menghitungnya. "Percaya sama gue. Pokoknya lu diem aja dan awasin yang lain. Biarin gue yang ngomong."

Mungkin pengaruh alkohol mulai menumpulkan logikanya. Sebenarnya ada banyak yang bisa Gracia ungkapkan soal buruknya rencana Revan. Tapi semuanya sia-sia karena mereka sudah berada di depan bangunan yang mereka incar.

Satu laki-laki yang bersandar di dekat pintu memberi isyarat ke teman-temannya. Enam pasang mata lalu membidik ke Gracia dan Revan. Satu perempuan yang berada paling dekat dari trotoar di depan bangunan segera beranjak dari tempatnya. Dia berdiri untuk mencegah langkah Revan yang berjalan di depan Gracia.

"Kalian nyasar? Di sini bukan tempat buat turis."

Perempuan berambut kepang dua dan berwarna biru terang dengan santai menyandarkan senapan tempur di bahunya.

"Yes, kebetulan banget kita emang nyasar." Revan menunjuk ke Gracia di belakangnya. "Kita denger di daerah sini tempat yang ngejual stimulan terbaik di Distrik Jakarta Barat. Gue penasaran apa ini tempat yang dimaksud?"

"Heh..." tawa remeh keluar dari mulut perempuan di depan Revan. "Lo siapa emangnya?"

Selama pembicaraan itu, Gracia tidak menampilkan ekspresi apapun. Perhatiannya hanya untuk keenam orang yang tidak melepaskan jari dari senapan mereka. Mata Gracia dengan cepat mengenali masing-masing senapan yang mereka modifikasi. Semuanya menggunakan kerangka serupa dengan produk AR milik Amerika. Melihat jumlah modifikasi, sepertinya stok, barel, scope, serta klip yang terpasang dicampur dengan produk pabrikan Asia. Terlepas dari itu, Gracia tahu akan ada banyak luka ketika mereka melepaskan tembakan.

"Siapa gue? Anggep aja gue pelanggan yang pengen belanja," ucap Revan.

"Kita gak nerima pelanggan, apalagi yang 'nyasar' ke sini," ucap salah satu dari mereka. Revan mengalihkan pandangannya dan melihat pria yang berbicara itu memiliki cybernetics tebal yang menggantikan tangan kirinya.

"Kalo kalian denger tawaran gue, mungk—"

"Lo gak denger!" hardik perempuan itu. Laras senapannya diarahkan ke wajah Revan, diikuti dengan kelima teman perempuan itu. "Lo budek hah! Kita gak nerima pelanggan! Sekarang lo bedua cabut dari sini sebelum gua bikin lobang baru buat gantiin telinga lo!"

Sekarang Gracia dan Revan sudah dibidik oleh enam senapan, semuanya siap menekan pelatuk dan meluncurkan timah panas ke kepala kedua polisi ini.

Gracia tidak bisa sabar. Tangannya sudah meraih pistol di holster­­-nya dan siap mengacungkan ke enam orang yang mengepung mereka. Baru saja Gracia ingin menarik pistolnya, dia melihat ke punggung rekannya. Laras senapan masih mengarah ke wajahnya Revan. Hanya saja, Revan tampak tak bergeming. Tangan kirinya yang Revan sembunyikan di balik punggung, ia buka hingga menunjukkan telapaknya. Gracia susah payah mengartikan isyarat Revan, tapi firasatnya berkata agar menunggu dulu.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang