"Di sini lokasinya?"
Pertanyaan itu dilontarkan Gracia ke rekannya yang mengecek pesan di ponselnya. Terpaan angin kencang menabrak jendela mobil yang saat ini mereka tumpangi. Gemuruh menggema akibat derasnya tetesan hujan yang menghantam tubuh mobil. Sesekali sambaran petir terdengar dari kejauhan, menghasilkan kilatan cahaya yang menembus langit berwarna abu-abu.
"Yes, semua nomor yang terakhir hubungin Hasan berasal dari tempat itu."
Dari kursi kemudi, Gracia menatap sebuah bangunan berbentuk heksagonal yang dibangun di atas Ciliwung. Bangunan itu begitu besar sehingga lebarnya merentang dari satu tepi di bantaran Kali Angke hingga ke seberangnya, dan memanjang sekitar 700 meter ke arah hilir menuju pintu air Kanal Barat. Dengan 10 lantai, bangunan ini menjulang tinggi menembus badai yang berkecamuk hari ini. Lucunya, warna abu-abu yang menyamar dengan cuaca hari ini hanya terlihat dari lantai paling atas hingga ke lantai 6 dari gedung ini. Dinding luar dari lantai itu masih menampakkan warna asli dari beton yang menjadi bahan bangunan. Bahkan tulisan berupa angka yang menandakan urutan lantainya masih bisa terlihat jelas dari ratusan meter.
"Kalo gak salah mobil gak bisa naik ke dalem Gre," ucap Revan. Dibalik pandangan yang terhalang derasnya guyuran hujan, Revan menemukan sebuah bangunan empat lantai yang berada di dekat akses masuk menara di depan mereka. "Gue liat ada mobil yang parkir di sana." Gracia mengemudikan mobilnya ke arah bangunan yang Revan tunjuk.
Jalanan pada siang hari itu sangat padat dengan orang yang berlalu-lalang mencari tempat berteduh dari badai yang berkecamuk. Kebanyakan dari orang-orang di luar berlari ke arah bangunan besar yang dibangun di atas Kali Ciliwung ini—bangunan besar yang menjadi tujuan Gracia dan Revan. Gracia terpaksa berkendara dengan sangat pelan untuk menghindari menabrak pengguna jalan lain. Tidak mudah tentunya, derasnya hujan membuat jarak pandang yang sangat terbatas.
Mobil mereka akhirnya sampai ke gedung parkiran yang berada beberapa meter dari akses masuk bangunan berbentuk heksagon itu. Gedung parkiran ini terdiri dari empat lantai. Secara teknis, lantai kelima tidak dihitung karena berbentuk rooftop dari gedung ini. Walaupun begitu, fungsinya tetap dijadikan sebagai area parkir. Tidak ada dinding sama sekali kecuali di lantai dasar, sehingga tiap lantai setelahnya hanya dibatasi dengan railing besi yang dibangun di atas tembok pendek.
Mereka memilih untuk memarkir di lantai 3, di pojok yang paling jauh dari akses ke lantai ini. Setelah memarkirkan kendaraan, Gracia dan Revan bersiap-siap untuk masuk dan melacak nomor yang terakhir menjual narkoba ke Vox.
"Dengerin gua Van. Kita bakal masuk ke area yang gak dikover di kontrak."
Revan dengan santai membuka bagasi dan mengeluarkan duffel bag hitam dari dalamnya. Dia membuka tas itu dan mengecek kembali isinya.
"Van, lo denger gak gua ngomong apa?"
Revan mendengar nada jengkel dari polisi cebol itu. Dia melihat Gracia berdiri di samping pintu kemudi dengan berkecak pinggang. "Iye iye, gue denger." Revan kemudian lanjut mengecek perlengkapan sewaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tabula Rasa
Science Fiction[R rated: Mengandung kekerasan grafis/eksplisit, bahasa kasar, kilas balik mengganggu, penggunaan narkoba/zat terlarang, dan adegan seksual grafis/eksplisit] Metro Jakarta, tahun 2099. Kota yang sudah lama menanggalkan statusnya sebagai pusat pemeri...