4. Lembaran Baru

141 14 2
                                        

Revan mengecek sekilas apa yang ia ketik di laporannya. Hmm... Ada lagi yang perlu dia hapus? Dia merasa kalau bagian soal Gracia datang telat tidak perlu dituliskan. Padahal itu mau dia pakai sebagai pembelaan soal kelakuannya... Baiknya Revan menunggu temannya datang ke kantor, biar bisa menyontek laporan Gracia.

Pandangannya menyapu ke isi kantornya. Ruangan Divisi Investigasi Khusus hanya memiliki 10 meja yang tersusun sejajar dan saling berhadapan. Sebuah sekat transparan menjadi pemisah tiap meja, walaupun jika diinginkan, tiap sekat bisa diatur untuk menjadi buram. Selain menjaga privasi, sekat ini juga terhubung ke komputer di masing-masing meja sehingga bisa memproyeksikan hologram dan menjadi papan tulis.

Khusus untuk komandan divisi, terdapat satu meja di ujung ruangan, terpisahkan oleh sebuah bilik dari kaca yang sama dengan sekat yang ada di tiap meja. Khusus untuk bilik komandan, kaca ini bersifat satu arah. Artinya dia bisa leluasa mengawasi bawahan tanpa khawatir di awasi balik.

Sebuah papan hologram tertempel di dinding ruangan, berisi data-data mengenai kasus yang masih aktif maupun yang sudah selesai. Selain itu, ada beberapa meja-meja yang bertebaran dan laci-laci yang menyimpan arsip fisik—relik peninggalan dari masa di mana media penyimpanan didominasi oleh kertas.

Meja Revan sendiri bersebelahan dengan Gracia. Itulah kenapa dia terkejut temannya ini belum datang padahal jam sudah menunjukkan pukul 8. Tapi mengingat kondisi Gracia semalam, rasanya cukup adil kalau dia diberi sedikit kelonggaran. Mereka berdua tidak punya waktu sama sekali untuk mengisi ulang tenaga mereka setelah bergelut dengan kasus yang rumit. Revan sendiri rela datang pagi-pagi agar bisa mencicil laporan debrief kasus untuk segera dikirim ke bagian audit. Ada beberapa detail lagi, tapi gambaran besarnya kurang lebih seperti itu.

Pintu ruangan terbuka, diikuti suara langkah kaki. Revan mengira itu adalah Gracia, namun yang ia lihat malah merusak moodnya pagi ini. Dua perwira polisi, satu berbadan tinggi kurus sedangkan satunya lagi bertubuh tambun, masuk berbarengan. Mereka adalah salah satu partner senior di divisi ini.

"Waduduh... Si anak bandel udah dateng aja pagi-pagi. Mana nih anak emasnya?" ucap si pria kurus. Nadanya bak penyanyi falsetto yang memekakkan telinga.

"Tumben nih ngantor gak sama pawangnya." Timpal si gendut dengan suara seraknya. "Gue denger ada yang baru kena masalah semalem sama divisi sebelah. Masa paginya udah disetrap aja si anak emas."

"Hahaha," balas Revan dengan nada sarkas, "Mas Anto sama Mas Yura lagi ngelawak ya? Istri aman gak di rumah? Denger-denger orang tua yang banyak stresnya bisa cepet impoten."

Mas Anto alias si kurus dan Mas Yura alias si gendut, awalnya datang dengan wajah sumringah. Namun, punchline Revan langsung merenggut kesenangan yang mereka rasakan secara instan.

"Anjing. Lo kenapa bawa-bawa masalah titit gue?" geram Yura. Sepasang polisi ini berjalan mendekat ke bangku Revan. Revan pun tak segan untuk berdiri dan menghadapi mereka.

"Kenapa emangnya? Wajar dong gue mempertanyakan kejantanan orang yang kerjanya cuma bisa nyinyir doang."

Anto yang lebih tinggi dari Revan langsung meraih kerang bajunya. Dia cekik itu dan ia angkat agar Revan menjadi sejajar dengan dirinya. "Jangan sok iye ya, lu tuh bukan siapa-siapa di sini."

Senyum tengil yang terlukis di wajah Revan semakin membuat polisi senior ini gusar. Belum sempat mereka memberi 'pelajaran', pintu ruangan kembali terbuka. Tiga pasang mata menatap siapa sosok yang baru saja datang.

Gracia disambut dengan Revan yang sudah terangkat oleh Anto dan Yura yang mengapitnya. Parahnya, posisi Yura ini persis menutupi akses ke meja Gracia. Perempuan bergigi gingsul ini hanya memberi tatapan dingin ke ketiga orang di depannya. "Udah selese mainnya? Gua kasih 5 detik buat lo balik ke meja lo."

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang