35

74 4 8
                                    

Dia menengok ke belakang. Hanya derasnya hujan yang ia rasakan di sekelilingnya. Dia mengencangkan jas hujan sekali pakai ke tubuhnya. Tidak ada waktu untuk berhenti, dia harus bergerak.

Keseimbangannya goyah. Jalan gang ini terlalu licin. Petir menyambar sangat kencang, seakan hanya lewat persis di atasnya. Gang yang tadinya gelap menjadi terang seketika, dan kesempatan ini ia pakai untuk mengecek lagi sekelilingnya.

Aman. Setidaknya dia tidak bisa lebih aman dari sekarang. Di luar bangunan yang membentuk gang ini, dia mendengar teriakan dan pecahan kaca. Suaranya pasti ditelan dengan segala kebisingan di sekitarnya. Momen ini ia pakai untuk mengeluarkan ponsel sekali pakai yang terus-menerus berdering.

"Stop hubungin nomor ini! Lu mau gue mati?"

Pria yang meneleponnya mengutuk balik. Bilang kalau dia tidak ikut campur dengan bencana ini.

"Kalo gitu gak usah ganggu gue!"

Dia tidak menyerah. Lagi-lagi, dia mengungkit soal 'rencana mereka'.

"Orang egois kayak lu gak pantes buat ngomentarin soal rencana kita."

Egois? Dia membalas dengan menyalahkan semua ini ke peretasan dan pembobolan data kala itu—dua hal yang tidak pernah mereka rencanakan.

"Jangan kira gue gak tau... ato lu kira data itu bisa beli keselamatan lu?"

Selalu saja, orang yang meneleponnya terus memutar balik obrolannya. Dia tidak puas sampai orang lain mengakui kesalahannya.

"Otak sempit kayak lu yang pengen kita beran—"

Apa itu? Percik air. Semakin dekat. Semakin cepat.

Dia menutup panggilan, mengoyak ponsel sekali pakai itu dan membuangnya sembarangan. Siluet hitam mengejarnya. Kepalanya segar, jernih dari pengaruh obat. Ini bukan halusinasi.

Kalau dia mau selamat, dia harus melanggar aturannya. Buat dirinya terlihat. Di luar gang, kericuhan yang terjadi adalah kesempatan untuk membaurkan dirinya. Dia memacu kakinya. Persetan dengan licinnya jalanan atau dinginnya udara malam. Suara di belakangnya ikut bertambah cepat. Dia harus keluar.

Akhirnya, dia berada di tengah kerumunan massa yang mengacungkan senapan rakitan dan melempar molotov ke dinding beton. Kawat berduri yang mengitari dinding itu berkali-kali ditarik oleh jiwa tak takut mati. Dari balik dinding, polisi yang berjaga hanya menonton, senapan mereka disiagakan. Tatapan dingin menyapu kekacauan di hadapan mereka.

Satu molotov mendarat persis di menara pengawas. Api yang mengobar memecah konsentrasi penjaga. Kesempatan ini dipakai dua orang dari kerumunan untuk memaksa naik. Sayangnya tidak ada yang memperingatkan mereka soal sentry drone yang—meski terbatas—mengudara di atas dinding. Rentetan senapan mesin membabi-buta dan merontokkan kedua orang itu.

Dia terus berlari di antara kerumunan. Tak ada waktu untuk menengok ke belakang. Apa pun itu, dia masih dikejar. Dia baru berhenti saat teriakan mendadak naik volume. Keseimbangannya hilang karena ada yang mendorongnya. Dia mendongak. Rupanya lima orang menaikkan sebuah pasak. Diujung pasaknya, seorang mayat polisi mengacung. Ujung lancipnya menembus dari anus dan keluar dari mulutnya.

Lalu ada pasak lagi. Dan lagi. Tiga pasak, masing-masing dengan mayat polisi berdiri tegak di depan dinding. Satu di antaranya, dia yakin itu perempuan. Hujan deras membatasi penglihatannya, tapi dia berani taruhan dadanya lebih menyembul dibanding dua mayat lainnya. Tunggu, mayat? Ada satu yang tangannya masih menggeliat.

Kerumunan gila. Tapi dia tak berniat bertahan di sini. Dia terus berlari. Adrenalin memaksanya kakinya. Baru ketika dia merasa sudah cukup jauh, dia melihat pengejarnya.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang