16. Goresan Tinta

51 8 0
                                        

Satu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu. Dua. Tiga detik...

Belum ada reaksi. Subjek masih meronta-ronta. Berkali-kali dia berteriak kenapa ada sosok yang tak dia kenal masuk ke kediamannya. Dia mencoba mencari cara untuk lepas dari tali yang mengikat tangan dan kakinya. Tak membuahkan hasil, subjek kini berteriak untuk meminta pertolongan.

Delapan. Sembilan. Sepuluh detik...

Subjek tidak bisa mempertahankan posisi duduknya. Otot mulai menunjukkan tanda relaksasi, namun subjek sepertinya mencoba melawan itu. Suara yang subjek hasilkan bukan lagi kata-kata, melainkan suara melenguh yang tertahan. Air mata mengalir deras dari mata subjek dengan tatapan yang mengiba.

Sembilan belas. Dua puluh detik...

Subjek sepenuhnya kehilangan kendali atas ototnya. Sekujur badan subjek terkulai lemas. Efek relaksasinya terlalu kuat—kedua bola mata subjek menatap ke arah yang berbeda, dan rahang bawahnya terbuka lebar dengan lidah menjuntai.

Sosok itu kini meraih kaki subjek dan menyeretnya. Kediaman subjeknya sangat gelap, mirip dengan pakaian yang sosok ini kenakan. Cahaya yang masuk dari balik jendela hanya datang dari lampu gedung pencakar langit yang menerangi langit malam Metro Jakarta. Tanpa lampu pun, sosok ini tidak kesulitan menavigasi tiap ruangan ke arah pintu keluar. Bahkan subjeknya yang ia seret seperti tidak ada beban.

Suara ketukan dari sepatu boots sosok itu menggema ke seisi rumah. Sebentar lagi dia akan sampai ke pintu. Tiba-tiba telinganya menangkap suara yang familier. Dia menengok ke subjek yang ia seret. Dalam kondisi tangan dan kaki terikat, tidak heran jika subjek tidak berhenti meneteskan air mata. Lendir dari hidung subjek itu juga ikut mengalir deras. Reaksi yang wajar, namun sosok ini menangkap suara yang begitu lemas dari pita suara subjek.

Menakjubkan. Bahkan dengan kondisinya yang tak bisa mengendalikan ototnya, ia masih mencoba melawan. Dia tidak asing dengan yang dia amati saat ini. Sosok itu menaruh kaki subjeknya dan berjalan ke samping tubuh subjeknya yang tergeletak. Suara yang berasal dari mulutnya yang terbuka, mengingatkan sosok itu dengan binatang yang sekarat. Tapi matanya menceritakan banyak hal. Dia menatap rasa takut, memohon, dan penuh tanya yang tergambar dari mata subjeknya. Lalu dengan sangat perlahan, iris mata kirinya bergerak ke salah satu sudut ruangan.

Sosok itu mengikuti pandangan subjeknya. Pasti ada hal penting di antara rak-rak ini yang membuat subjeknya mengerahkan semua kekuatannya untuk menatap ke sini. Dia berjalan mendekat dan hanya melihat berbagai foto yang dibingkai. Tak jauh dari salah satu foto, sosok ini menemukan bunga mawar kecil yang terbuat dari Lego. Dia mengambil bunga ini yang ukurannya serupa dengan telunjuk orang dewasa, lalu membawanya ke subjeknya.

Tangis subjek itu semakin deras. Mata kanannya terus menatap ke bunga yang dipegang sosok itu. Jadi ini yang dia cari? Sosok itu lalu melihat ke arah bingkai foto di rak tadi. Sekarang dia mengerti. Bunga itu lalu dimasukkan ke dalam kantong depan kemeja yang subjeknya kenakan. Suara pelan itu terdengar lagi, teriakan hampa yang berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Dengan kesadaran yang tersisa, ia melihat sosok bak malaikat pencabut nyawa kembali mengangkat kakinya dan menyeretnya keluar. Ketika dirinya melewati ambang pintu, dia sadar kalau ini bukan mimpi di mana dia bisa bangun.

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang