34

100 7 10
                                    

"Pak Bertrand, kenapa bapak membutuhkan waktu empat hari untuk memberi pernyataan mengenai serangan siber dan pemadaman yang terjadi setelahnya?"

"Begini, kami sadar keinginan masyarakat untuk mendapat kejelasan. Semangat itu yang kami pegang juga. Kami menggunakan waktu sebaik mungkin untuk melakukan investigasi internal dan mendalami akar permasalahan."

"Pak, pak... nomor yang mengirim pesan berantai itu benar milik kepolisian?"

"Tidak benar. Sama sekali. Saya ingin meluruskan soal itu."

"Tapi pak, bagaimana bisa kepolisian lalai menjaga keamanan data masyarakat? Apalagi data yang dibocorkan semua tertanda milik Kepolisian Metro Jakarta."

"Saya tekankan sekali lagi, kejadian kemarin adalah bentuk teror oleh kelompok tidak bertanggungjawab. Kita semua adalah korban, dan perlu diingat, jangan mau memberi kepuasan ke kelompok semacam itu. Saya sudah tugaskan pihak terkait dan mereka sudah mengambil tindakan untuk mencegah kejadian serupa."

"Pak Bertrand, pertanyaan terakhir pak! Dengan ancaman ini, apakah bapak berencana untuk koordinasi dengan distrik lain?"

"Jelas. Keamanan Metro Jakarta adalah prioritas kami. Semua sudah diatur sesuai kontrak. Selama tidak melanggar, kami akan memberikan semua bantuan yang kami bisa."

"Terakhir lagi, pak! Kelanjutan kasus pembunuhan Vox, bagaimana serangan kema—"

"Sekali lagi, semuanya sedang kami urus. Oke? Terima kasih."

Pencegahan? Jadi itu istilah yang dia pakai?

Dia tidak perlu melihat cuplikan konferensi pers tadi. Gracia memainkan kancing di pergelangan tangan kemejanya. Manuver Pak Daud jauh di luar prediksinya, tapi pernyataan tadi membuktikan kalau dia mendapat tekanan tambahan dari atas. Sekarang tinggal menunggu siasat baru dari mereka, karena tak mungkin dia menyerah secepat ini.

"Sudah berapa kali kita memainkan permainan yang sama?"

Gracia terperanjat. Dia ingat di mana dia sekarang. Bilik Pak Alex, meja catur, dan PC komandannya yang memutar streaming berita. Dia duduk memunggungi Pak Alex yang menatap ke deretan meja di kantor mereka dari balik pembatas kaca.

"Dari hitungan terakhir, 187 kali."

Ingatannya mulai kembali. Deretan bidak dan pion hitam tersebar di hadapannya. Sinar matahari masuk dengan sudut tepat, menembus jendela di depannya, lalu menerpa barisan bidak putih milik Pak Alex. Bayangan yang muncul seakan menelan seluruh papan beserta bidak miliknya.

"Sudah berapa lama?"

Kepalanya berdenyut. Pinggangnya terasa seperti ditusuk. Rasa kebas di tangannya muncul bersamaan dengan nyeri di belakang matanya. Gracia tidak pernah merasakan ini—tidak sejak semua implan yang ia pasang. Rasa ini datang dari suatu masa. Jauh, namun dekat hingga dia bisa datang lagi.

"Kurang lebih 10 tahun."

"Itu angka pasti?"

"T-tidak... tapi tidak kurang dari itu, pak."

Bodoh! Semudah itu lidahnya menjadi kaku. Gracia mengunci rapat mulutnya. Cukup sekali dia kehilangan kendalinya. Diam, fokus ke permainan, dan tunggu Pak Alex kembali dan memainkan gilirannya.

"Waktu yang cukup untuk tahu cara memenangkan permainannya," ucap Pak Alex. Kini dia sudah kembali ke kursi di seberang Gracia. Bayangan di papan semakin besar dengan tambahan siluet komandannya.

"Yang artinya, antara kamu menikmati permainan ini," Pak Alex memindahkan gajahnya menghindari kepungan bidak Gracia, "atau kamu tidak tahu sama sekali caranya."

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang