24

38 3 2
                                    

Bandeirantes

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandeirantes.

Kenapa nama itu?

Kapan nama itu muncul?

Gracia tidak buta. Pemahaman bahasanya tidak pernah setumpul itu. Dia membaca jurnal milik Hasan. Tidak pernah sekalipun disebutkan geng itu.

"Bandeirantes."

Revan memecah keheningan. Lima menit adalah waktu yang terlalu lama untuk menunggu Gracia selesai dengan buku usang yang mereka temukan di apartemen Hasan. Mata perempuan itu bergerak cepat, baris ke baris, halaman ke halaman. Apa lagi yang dia cari?

"Lu bilang geng itu yang nyerang klinik Medi-Pharm?"

Gracia membalik ke halaman lain. Revan menunggu-lagi, dengan sabar-agar Gracia mau melepas perhatiannya dari buku itu. Dia yakin Gracia dengan sengaja menghiraukannya.

Revan menghela nafasnya. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Jadi dari awal, semua ini gak jauh dari drama geng."

Suara kencang muncul ketika Gracia menutup bukunya. Kepalanya menoleh dengan cepat ke Revan. "Segampang itu lo percaya?"

"Orangnya langsung yang bilang. Buat apa gue gak percaya?"

"Gimana kabar SSD punya Hasan? Terlalu lama kita nunggu soal akses masuk ke perangkatnya."

Revan menghadap ke temannya dengan tangan bersedekap. "Kalo ada kemajuan, mereka pasti kirim ke kita."

"Berapa kali gua bilang, bukan gitu cara kerjanya di sini. Lo gabung ke kepolisian lebih dulu dibanding gua, harusnya lo lebih tau."

"Oke," Revan membanting tangan ke pahanya, "karena lu lebih tau, coba ajarin gue. Gimana sih cara kerjanya orang-orang di sini?"

Gracia memicingkan matanya. Rahangnya terpaku dengan kencang. Revan membalas tatapan Gracia dengan intensitas yang sama. "Menurut lu, gak ada yang bisa dipercaya? Menurut lu, apa yang terjadi sama mereka yang bener-bener kerja?"

Suara Revan meninggi, nafasnya terdengar kasar. "Gue penasaran sama jawaban lu, Gre. Karena kalo lu masih inget, semalem gue mencoba ngejalanin kerjaan kita. Ato... Definisi pekerjaan yang lu punya berbeda sama gue?"

Bunyi decit dari besi yang saling meremuk terdengar nyaring. Revan tahu sumber suara itu adalah Gracia yang mengepalkan tangannya. Revan tidak ingin mengalah. Dia tetap dengan tangan yang masih menyilang di dadanya. Tidak peduli dengan rasa kantuknya-dia ingin meladeni temannya.

"Gue pernah denger soal jilat ludah sendiri. Yang gue liat sekarang, ada segalon penuh yang lu minum."

Hawa yang menyesakkan menyelimuti keduanya. Cahaya mentari yang masuk dari jendela kantor tidak sanggup menembus sensasi mencekik. Gracia setia menatap buku di depannya. Bunyi decit besi itu berhenti, namun tangan Gracia masih terkepal.

Revan menarik nafas dalam. Oksigen segar mulai menjernihkan pikirannya. "Ini semua soal apa sih Gre? Semuanya udah jelas. Lu gak bisa ngubah jawaban Chul-"

Tabula RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang