✧☂︎|24

72 7 4
                                    

Senja itu, langit Borneo indah dengan langsir gergasi yang berwarna kejinggaan - menghiasi sukmanya. Sungguh rupawan rupanya hingga tanpa sedar membawa Hanastasia berhenti ke destinasinya. Gadis itu mematikan langkah.

Bebolanya sudah menangkap sebuah lukisan indah di hadapan sana. Dengan latar indah yang bertemakan senja, lelaki itu duduk diam menikmati aroma-aroma yang lahir terbentuk dari tanah dan tasik tersebut.

Baru sahaja tadi, hujan membadai kota mereka. Tidak lama tetapi lebatnya cukup mampu membanjiri tanah rata. Dan tika itulah, dia menerima khabar dari Ali tentang Andika yang ingin bertemunya di tasik itu.

Awalnya, dia ingin menolak atas kejadian tempoh hari yang membuatkan majlis itu dipandang serong oleh masyarakat yang hadir. Dan dirinya adalah watak yang menjadi punca kekacauan tersebut.

Hanastasia mencetak langkah perlahan. Tidak pasti, atas dasar apa lagi Andika ingin bertemu dengannya - sedangkan sudah jelas jika kehadiran seorang Hanastasia tidak diterima baik di keluarga itu.

" Andika..." Panggilnya.

Lelaki itu berpaling ke arahnya. Tiada riak apapun yang terlahir dari wajah itu. Hanya sebuah tatapan serius yang seakan mencengkam jiwa Hanastasia untuk menatapnya. Hanastasia menelan saliva. Serentak dia menjatuhkan retina ke atas tanah lecak yang aromanya sudah menyapa lohong hidung.

" Bagaimana dengan keadaan kau -"

" Berhenti Andika. Kita sudahi sahaja cerita ini." Hanastasia laju sahaja mencelah bicara lelaki itu hingga Andika terdiam sejenak.

Keduanya kekal diam di posisi masing-masing. Mungkinkah kejadian yang sama berlaku sekali lagi ? Di saat Hanastasia pergi meninggalkan Andika di bawah pohon dengan hujan yang membadai kota dahulu ?

" Aku datang kemari untuk mengetahui apakah ada peluang untuk aku terus mencintai kau atau tidak ?" Tanya Andika.

" Tiada, Andika. Peluang tidak ada dalam cerita kita. Kerna hakikatnya agama bukan mainan untuk kita gunakan dalam perasaan ini." Jawab Hanastasia dengan tegasnya.

Andika mengangguk serentak. Dia menatap netra teduh Hanastasia yang sedang membundar dengan campuran emosinya yang tidak pasti bagaimana isinya. Tetapi, menatapnya sahaja membuat Andika membenci dirinya. Entah mengapa, dia bisa sekuat itu untuk menyatakan cintanya pada seseorang yang berbeza keyakinan dengannya.

" Betulkah kau mencintaiku ? Adakah kau juga berharap agar hubungan kita ini bisa terbang jauh seperti yang aku harapkan ? Untuk kali ini, aku mohon jujurlah dengan perasaanmu Hana." Tambah Andika.

Hanastasia menatapnya.

" Berikan aku jawapan apapun yang terlintas dari fikiranmu agar aku bisa faham jika cintaku ini hanya sampah untuk kau. Jika kehadiranku tidak bermakna langsung untuk kau."

Air muka seorang Andika Noh sudah runtuh memandang tanah lecak yang beraroma segar itu. Dia menggenggam penumbuk.

Di saat yang sama, Hanastasia menatapnya syahdu. Dengan embusan angin sepoi-sepoi bahasa, tidak semena bebola indahnya terasa pedih dan panas. Bahkan, tubir matanya sahaja tampaknya sedang menanggung kolam yang sebentar lagi bisa bocor.

" Andika, kita adalah sebuah kisah yang tidak akan pernah melengkapi satu sama lain. Ketahuilah, berharap pada manusia adalah sebuah kemusnahan. Kerna itu, aku sama sekali tidak mengharapkan apa-apa dari hubungan tidak jelas ini, Andika." Jelas Hanastasia dengan lembut.

" Aku tidak mahu mendengarkan itu, Hana." Andika menaikkan nada suaranya pada satu oktaf. Hanastasia - gadis itu suka sekali berkias dalam bicaranya sedangkan dia tahu sendiri bagaimana perasaan gadis itu.

BORNEO UNTOLD STORY [ C ]Where stories live. Discover now