✧☂︎|41

63 6 4
                                    

Senja itu, jumantara Borneo sudah berubah warna kejinggaan pada tabir gergasinya - yang tiada bertongkat. Begitu laju sekali waktu berjalan hingga tanpa sedar membawa Hanastasia ke alam mimpi yang lena. Ya, wanita itu sedang tertidur diatas pusara sang ibu sambil berbantalkan kedua tangannya. Sorot mata seseorang naik memandang perempuannya yang sungguh rupawan wajahnya meski sedang beradu diatas pusara Ibunda.

Andika menggantikan sorot pandangannya ke arah batu nisan di sampingnya. Bibir lelaki itu indah menampakkan garisan yang melekuk sempurna. Sekilas dia memandang wanitanya. Masih sahaja tidak sedar akan kehadirannya di situ.

" Mak, lihatlah betapa Hana mencintaimu. Dia bahkan tidak pernah hidup dalam masalah kelamnya yang dahulu. Mak, sebagaimana Hana mencintaimu maka izinkan juga Andika untuk mencintainya."

" Biarkan Andika mengubah cerita kelabunya dan menjadi wanita terbahagia dalam hidupnya. Andika sangat mencintainya. Bahkan, sejauh apapun Andika dari Hana, perasaan ini masih sahaja sama seperti dulunya."

" Tiada berubah sedikitpun. Izinkan Andika untuk menyempurnakan hidup baru Hana. Andika janji akan menjaganya - jika Andika tidak mampu, cukup doa Andika mengikuti jejaknya sampai bila-bila."

Andika leka dengan bait bicaranya yang bersenandung indah itu. Hingga tanpa sedar, membangunkan wanita di hadapannya. Hana mengangkat wajah apabila sedar dia sudah terlena diatas pusara. Dia mendongak menatap Andika sebelum netranya berkeliling entah mencari apa.

" Andika, macam mana kau bisa di sini ?" Tanyanya sambil membaiki tudungnya.

Lelaki itu hanya tersenyum melihat wajah tersebut. Jika sahaja dari awal kita ditakdirkan bersama tanpa melibatkan agama - pasti sekarang aku sudah menjadi seorang ayah dari anak-anak kita. Hatinya bermonolog jauh.

Baru sahaja dia hendak membuka butir aksaranya - serentak itu langit gergasi dihidupkan dengan bunyi dentuman guruh yang dahsyat. Kedua hamba Tuhan itu serentak mendongak ke atas langit. Hari yang senja kejinggaan itu kini berubah kelabu biru yang tidak menyenangkan. Lantas keduanya bersiap hendak pamit dari rumah tersebut.

Titisan demi titisan mula terbentuk diatas tanah kering. Bahkan, Hana dan Andika juga turut merasai rintikan hujan yang sebentar lagi mungkin meruntuhkan badai angkatannya.

" Hana, mari kita cari tempat untuk berteduh."

Hana mengangguk kecil. Dia menatap pusara Janice sejenak lalu meminta izin untuk berangkat pergi - memandangkan langit sedang cemburu dengan kehadiran mereka. Titisan air yang tadinya turun tenang kini jatuh merempuh tanah bentala yang kontang. Keduanya lantas berlari mencari tempat teduhan.

Mereka mematikan langkah tepat disebuah stesen bas. Tudung dan baju Hana habis basah lencun. Andika apatah lagi. Rambutnya habis jatuh menutupi dahi. Hana mencari-cari sesuatu dari perut beg tangannya. Hingga tingkahnya kaku bagaikan terpaku dengan perbuatan Andika.

Kehangatan yang menyelubungi tubuh basahnya menjadi asbab wanita itu kematian tingkah. Dia menatap ke belakang. Lelaki itu hanya tersenyum usai menyarungkan jaketnya pada tubuh perempuannya.

" Pakai dahulu, nanti badan kau masuk angin." Ujar Andika lalu berpaling dan meraupkan rambutnya yang basah.

Hana diam menatapnya. Tidak semena, memori lama mengetuk pintu ingatannya. Disaat pertama kali, dia merasakan kehangatan yang sama dari lelaki itu. Tanpa memikirkannya lama, Hana segera mengelurkan tisu lalu diberikan separuhnya kepada Andika. Tetapi niatnya terbatal seketika.

" Andika..." Panggilnya.

Serentak itu, Andika berpaling menatap wajahnya. Hana diam mematung. Dia menatap benak mata Andika lama. Mendalaminya hingga merasakan ada sesuatu yang masih belum habis di hujung hatinya. Sesuatu yang sungguh dia rindukan.

BORNEO UNTOLD STORY [ C ]Where stories live. Discover now