✧☂︎|45

62 6 4
                                    

Andika menjatuhkan gagang telefon dari tangannya. Baru sebentar tadi, dia menerima panggilan. Retina lelaki itu lantas turun melihat telefon rumah yang sudah membisu. Dia menelan saliva. Seketika lamunannya dihancurkan oleh tawa Andhika yang datang memeluk kakinya - wajah masam tadinya kini berubah serta-merta.

Dia menjatuhkan lutut ke atas lantai lalu memegang kedua bahu kecil Andhika. Si kecil itu masih lagi tertawa membawa hamparan dada mungilnya yang berombak-ombak.

" Abi, mari main." Ajak si kecil.

Andika senyum lebar sampai telinga. Dia mengusap perlahan rambut ikal Andhi lalu mengangguk kecil. Lelaki itu bingkas sambil tangannya erat menggenggam jari jemari kerdil kepunyaan Andhika.

Seketika, langkah Andika mati di hadapan halaman rumah mereka. Dilihatnya, Hana sedang tertawa sebelum sempat membersihkan kotoran yang ada pada muka Juwita. Anak perempuan kepada Ali. Andika hanya menikmati wajah isterinya yang anggun sekali mengenakan hijab untuk menutupi mahkotanya.

Jika dahulu, dia sungguh menikmati wajah mungil itu yang didandani dengan alunan rambut Hana yang bergelombang kecil. Sungguh cantik. Dan sekarang, kecantikan itu hanya dia sahaja yang bisa nikmati. Dia mendekati Hana sambil langkah gergasinya itu sempat diikuti oleh Andhi disebelahnya. Andhika - anak itu sering sahaja meniru apa yang dilakukan Andika meski itu harus pada Hana mahupun Nenek dan Atoknya.

" Aida belum mengambilnya lagi ?" Tanya Andika.

Sontak itu, Hanastasia mendongak menatap sang suami yang kini berdiri kukuh di hadapan. Tetapi, dek cahaya mentari yang menghalang - dia hanya bisa memincingkan kelopaknya sambil mengangguk. Menyedari Hana yang sedang dicumbu dengan cahaya senja - membuatkan Andika bergeser sedikit. Cuba menghalang cahaya dari harus menumpahi sinarnya di wajah sang isteri.

" Abang hendak minum kopi, Hana boleh buatkan." Ujarnya lalu bingkas.

Hana menepuk kedua telapak tangannya dari debu. Kemudian, meminta Andika untuk menjaga Juwita sementara dia masuk ke dalam membawa air. Andika hanya mengangguk lalu mengangkat Juwita dari kekacauan yang berlaku disekitar anak itu. Baju dan pipinya sudah comot dengan tanah. Sedangkan, baru sahaja Hana membersihkannya.

Juwita yang sudah bersih diangkut pula pada dakapannya. Kemudian di bawa untuk duduk bersama di meja kopi halaman rumah tersebut. Tidak banyak tingkah - itulah apa yang diikuti Juwita dari gen sang Ayah. Andhika hanya memandang gadis kecil itu dengan sorotan matanya yang penuh rasa tanya. Lalu, menataplah ia kepada sang ayah.

" Abi, Andhi tidak suka akan Juwita." Jujurnya membuatkan Andika terkejut mendengar bicara itu.

" Tidak baik berkata seperti itu, Andhi. Jika pakcik Ali dengar, habislah Andhi dikerjakan." Balas Andika.

Andhi memuncungkan bibirnya. Serentak itu, dia mendekati Juwita yang kini menatapnya. Andhi yang berada di antara kerusi Juwita dan Andika - segera memulakan tugasnya. Dengan tenaga kerdilnya yang terhasil dari rasa cemburu dan tidak puas hati, dia cuba menolak kerusi sang Ayah agar jauh dari Juwita.

Andika sempat tertawa melihat telatah anaknya. Wajah yang bulat dengan pipinya yang tembam kemerahan kini bergelembung menahan angin di dalam mulut. Tidak kenal erti putus asa, Andhi tetap sahaja berusaha hendak menolak sang Ayah. Andika sempat mengusap rambut ikal si kecil lalu sengaja mengangkat punggungnya sedikit - biar mudah untuk ditolak oleh Andhika.

" Kenapa Abi ditolak ke tepi ?" Tanya Andika ingin tahu.

" Abi sudah ada Mummy, jadi jangan dekat lagi dengan Juwita. Juwita kan Andhi punya." Jelas si kecil sambil menyandarkan tubuhnya pada kerusi Juwita.

Andika melepaskan tawa besar. Tidak menduga sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh anak kecil itu. Dia pasrah. Lantas dia menganggukkan tengkoraknya. Tidak lama, Hana akhirnya muncul dari perut rumah bersama sedulang minuman dan kuih muih. Tawa besar tadi kini kendur tanpa diminta.

BORNEO UNTOLD STORY [ C ]Where stories live. Discover now