14. Dekapan Kepompong

36.1K 4.4K 230
                                    

"Lo udah baca undangan reuni di grup? Acaranya di Hijau Daun, Bogor."

Sagala terdiam. Pria ini selalu dan selalu membaca buku atau bermain ponsel saat Anin datang. 

"Kita berangkat nggak ya, Ga? Ternyata walaupun nggak diundang, mereka tahu kita nikah."

Teman kuliah keduanya hanya segelintir yang mendapat undangan pernikahan. Mereka-mereka yang berkedudukan masih satu rekanan perusahaan atau punya hubungan kerja bersama salah satu keluarga inti Birendra. Saga enggan mengundang siapapun. Ia hanya menyetorkan nama Reza dan dokternya di Singapore. Sedangkan Anin juga hanya mengundang sahabat kos, beberapa perwakilan pejabat desa dari kampungnya, teman serta para petinggi di BGC. Tak lupa tamu golf yang pernah Anin temani, yang lalu mendadak sok akrab begitu tahu Anin adalah calon istri Sagala Birendra. Selainnya, mereka mengetahui kabar pernikahan ini dari berita. Beberapa media meliput perhelatan salah satu pemilik stasiun TV terbesar negeri ini.

"Ga, kenapa sih diam aja? Marah kok sampai satu dekade?"

"Anda menganggu konsentrasi baca asal Anda sadar."

Anin mencebikkan bibir setelah menemukan baju gantinya yang kini disusun rapi oleh Narti dalam salah satu lemari kosong di walk in closet Sagala. Sekarang, Anin mulai masa bodoh mau Sagala membaca buku jenis apapun. Anin tahu itu hanya taktik demi menghindarinya, atau agar Anin bosan hingga lama-lama pergi dan resign jadi istri. 

"Tadi gue ke panti jompo. Sedih banget. Burger bikinan gue pada nggak minat ternyata. Yaudah, langsung gue bagiin ke anak-anak pinggir jalan."

Bagaimana mau minat jika gigi saja mereka tidak punya? Sagala menahan cemoohannya dalam hati.

"Eh, Ga, BTW, gue baru tahu ... arisan Mama itu hebat juga ya? Masa undian souvernir hadirnya voucher nginap di Apurva Kempinski?" Anin berlutut di bawah dengan tangan bersidekap di kasur. Tepat di depan kaki Sagala yang tertutup selimut. Wajahnya mengamati Sagala yang masih terpekur oleh tulisan-tulisan. "Sayangnya yang dapat bukan gue. Tapi si ibu-ibu yang punya gerai berlian itu," imbuh Anin lemas.

Tiba-tiba Anin teringat pesan Bu Endah.

"Besok mau dimasakin apa, Ga? Mama pergi nemenin Papa ke Batam. Tadinya, gue pengin main ke kos tapi Kimmi lembur. Gue izin ya jalan-jalan ke supermarket? Sekali-kali mau belanja sayur cantik nggak pakai ke pasar-pasar." 

"Terserah. Saya nggak makan masakan Anda. Masih khawatir diracun, saya mati cepat, Anda dapat warisan—"

"Enak aja!" Anin menggebrak ujung sprei hingga tersibak. Segera Anin membenarkannya. Meski dia tahu Sagala tidak benar-benar serius mengatakan soal racun-meracun, tapi kok pedas juga ya sampai di telinga. "Gue masak tuh pakai bumbu cinta!!" tegas Anin menantang. "Bumbu cinta ... ! Tahu nggak sih lo?!"

Sekalian saja Anin tantangin. Kalau Sagala bisa jatuh cinta padanya, sungguh kemanjuran kitab mencari jodoh ajaibnya itu wajib dipertanyakan. Karena belakangan Anin justru menjadi dirinya sendiri. Jarang berdandan. Nihil bersikap dan bertutur manis. Boro-boro pakai baju seksi, yang ada, Anin langsung masuk angin di rumah ini. Apalagi mengikuti saran agar berperilaku sebagai wanita elegan incaran para pria kaya. Anin tidak melakukan semuanya karena pasti Sagala sudah hafal trik-trik bagaimana perempuan berniat terselubung itu.

Anin bangkit dari berlututnya sambil menggerutu mengalungkan handuk. "Ah! Orang kaku mah mana ngerti apa arti bumbu cinta. Dah lah! Gue juga nggak berharap. Mending mandi."

Akhirnya, Sagala bisa menghembuskan nafas lega tepat ketika Anin menutup pintu kamar mandi. Ia menjatuhkan buku ke pangkuan. Bacaan yang sejak awal bisa mendistrak kebawelan Anin agar tidak masuk ke otaknya, lama-kelamaan tidak mempan lagi.

Saga Anin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang