Sagala tidak habis pikir pada Anin. Baru saja keluar komplek, Anin bisa-bisanya terlelap pulas di bangku sebelahnya.
"Non memang begitu, Den. Baru berapa menit saya nyetir udah langsung ketiduran."
Sapa Pak Nan melihat Sagala yang sejak tadi tidak mengalihkan tatap dari si Putri Tidur. Ketahuan mencuri pandang, Sagala segera mengubah haluan ke sisi jendela. Pak Nan tersenyum dalam hati. Juga Din di samping Pak Nan.
Pondok Indah Mall adalah tempat yang mereka tuju. Jalanan tak begitu macet hari ini. Mereka tiba tepat waktu kurang dari 30 menit.
Din mendorong kursi roda Sagala dari lobi. Di samping Sagala, Anin berjalan. Mereka sempat meributkan akan kemana dulu. Supermarket atau toko buku. Lelaki dominasi yang tidak mau dibantah sama sekali itu tetap pada keputusannya. Ke toko buku dulu. Sepanjang menyusuri ruas pusat perbelanjaan ini, tak sedikit mata orang-orang yang terdistraksi untuk memandang Sagala dengan tatapan aneh. Seperti jarang melihat orang sakit saja. Atau, keheranan mengapa orang lemah sepertinya masih sempat-sempatnya main ke mall.
Anin juga sengaja berjalan di samping Sagala tanpa mendahului. Perempuan itu akan membuktikan bahwa dia bukan seseorang yang malu berjalan bersama Sagala. Wajah Sagala tertunduk sepanjang jalan. Seolah malas membalas tatap orang-orang tersebut. Anin kesal sendiri dalam hati namun ditahannya. Harusnya Saga pelototi saja mereka.
"Mas Din, saya yang dorong Saga boleh?"
"Nggak usah, Non. Biar saya aja."
"Mau nyobain," paksa Anin langsung merebut pegangan kursi roda.
"Nggak usah! Saya nggak butuh Anda!"
"Eh? Udah Anda lagi." Anin sedikit menunduk di samping pelipis Sagala. "Kenapa kita nggak ngobrol aku kamu aja sih, Ga, kalau lo keberatan pakai gue lo? Menurut gue lebih enak di telinga. Lebih akrab. Sekalian aja. Kita nggak perlu pura-pura gonta-ganti kosakata. Takut kebelit dan gue tiba-tiba lupa di depan Mama. Apalagi nanti kalau jadi ikut reuni."
"Saya nggak butuh akrab sama Anda."
Anin bebal. Usahanya mendorong Sagala berhasil selagi mengalihkan perhatian pria itu pada perdebatan soal panggilan barusan. Walaupun hati cukup dongkol dicueki Sagala, Anin sudah biasa. Din kini memilih berjalan di belakang keduanya.
"Lo nggak lapar? Haus? Mau langsung masuk toko buku nih?"
"Iya."
"Tapi gue haus. Mampir beli es krim dulu mau nggak?"
"Nggak!"
"Dih!"
"Saya belikan mau, Non?" tawar Din. Sengaja. Din ingin memberi waktu berdua saja untuk pengantin baru ini berkencan tipis-tipis.
"Wah. Mau. Pakai cup aja ya. Takutnya kalau cone nanti mencair. Saya rasa strawberry. Lo mau rasa apa, Ga?"
Sagala terdiam sehingga Anin yang menyambung lagi, "Sama beli yang vanilla dan coklat ya. Biar Bapak di depan ini milih."
"Anda nggak dengar ya saya bilang apa?"
"Iya nggak dengar." Senyum Anin teduh dengan nada bersahabat.
"Izin bentar ya, Den."
"Nanti langsung ke toko buku aja ya, Mas. Kita ke sana duluan."
Anin bercerita banyak selama menyusuri koridor. Sesekali berhenti jika menurutnya ada toko yang menarik minat. Tak lupa Anin menawari Sagala mau mampir atau tidak. Jawabannya tak usah ditanya. Sagala selalu menolak. Selain karena masih beradaptasi mendorong Saga, Anin ingin waktu ini bisa ia manfaatkan lebih untuk memperbaiki hubungannya dengan Sagala. Ia bercerita di lantai berapa Kimmi bekerja. Tentang pertemuan pertama Anin dengan Kimmi di salah satu perusahaan ekspedisi. Petualangan Anin setelah lulus hingga sekarang. Sagala tidak menanggapi apapun meskipun diam-diam mendengar seksama apa yang Anin kisahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...