11. Bukan Malam Pertama

37.8K 4.1K 155
                                    

Vote dulu sebelum baca.❤️

--------

Anin kebelet pipis. Suhu AC ruangan ini sangat tidak normal. Mau telah 2 lapis baju dibungkus jaket, lalu ditutupi lagi oleh selimut tebal, tetap saja tubuhnya belum mampu beradaptasi.

Mana kamar mandi ada di dalam ruang tidur. Tidak tahan lagi, Anin bangkit dari gulungan kepompongnya. Mengendap-endap ke kamar Saga. Ini masih pukul 3 pagi, Anin berharap Saga belum bangun.

Keberuntungan berpihak pada si Pemilik Rambut Acak-acakan ini. Pintu kamar Saga tidak dikunci. Di sana, sedang terbujur lurus seorang pria. Selimutnya masih rapi menutupi badan sampai dada. Anin berdecak kagum. Bisa ya, Sagala tidur tanpa pakai bergerak-gerak begitu? Oh iya, Anin baru ingat. Kaki Saga kan tidak bisa digerakkan. Anin bertanya-tanya lagi. Kepalanya sibuk di nyawa yang baru kekumpul setengah karena kebelet ini. Apakah punggung Sagala tidak pegal tidur seperti itu?

Masa bodoh lah. Toh, bukan badan Anin yang pegal ini.

Anin memasuki kamar mandi bak maling profesional. Meminimalisir suara, kecuali flush toilet yang gagal ia redam. Perempuan itu berdoa lagi semoga Sagala tidak terbangun.

Anin segera memanfaatkan kesempatannya untuk cap cip cup sikat gigi, cuci muka, sekalian wudhu untuk shalat Subuh. Dicicil dari sekarang agar nanti ketika adzan berkumandang, dirinya tak perlu bolak-balik ke sini lagi. Semoga kentutnya mau bertahan berdiam diri dulu di perut sampai si empunya selesai ibadah.

Pintu kamar mandi dibuka dan ... Jantung Anin mau lepas. Tepatnya, hampir lepas. Saga telah duduk bersandar kepala ranjang. Menatapnya tanpa ekspresi apa-apa.

Anin merasa tidak enak. Perempuan berkalung handuk itu meringis lebar dengan muka yang masih lembab oleh air. Sambil menurunkan handuk untuk menutupi alat cuci mukanya, Anin menundukkan kepala hormat.

"Sorry. Gue kebelet. Ga tahan."

Saga terdiam.

"Thanks pinjeman kamar mandinya. Gue keluar."

Bagai maling tertangkap basah oleh tukang ronda, penuh sopan, Anin izin kembali ke ruang tamu. Namun, belum sampai membuka lebar pintu, Anin berbalik. Teringat sesuatu.

"Oh iya, mau ke kamar mandi? Perlu gue panggilin Mas Din?"

"Keluar."

Tidak ada gelengan atau anggukan dari Saga untuk menjawab pertanyaan tidak penting Anin. Tidak ada nada bengis juga tajam diperuntukkan bagi penanya. Anin hanya menuruti saja usiran tuan rumah agar keluar. Sesampai di ruang tamu yang masih penuh seserahan dan kado pada sudut lain, Anin akhirnya bisa mengelus dada lega. Untung-untung! Nyawa Saga mungkin belum kekumpul. Jadi nggak marah-marah. Pikirnya.

Bukannya belum terkumpul, Nin. Sebenarnya, Saga sama tidak enak hatinya membiarkan perempuan tidur di sofa, sedangkan dirinya terpaksa terbaring nyaman di kasur. Mau bagaimana lagi, tidak ada kamar lain di rumah ini. Kondisinya juga tidak memungkinkan untuk berbaring di tempat lain. Mustahil pula Saga mengajak Anin tidur bersebelahan. Memang siapa mereka? Saga tidak akan membiarkan dirinya terperdaya pesona perempuan. Entah Anin maupun perempuan manapun. Meskipun Anin terlihat polos dan baik pada seluruh keluarganya, tapi bagi Saga, semua perempuan sama saja. Ditakdirkan menyukai uang. Sulit menemukan yang tulus menyayangi Saga kecuali mama dan neneknya saja.

Saga Anin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang