36. Bukan Rahasia

29.7K 2.9K 63
                                    

"Kita nggak akan cerai kan? Kita akan selamanya begini kan?"

Anin menahan tangan Saga yang akan menutup pintu penumpang. Pria itu menarik sudut bibir selagi mengusap pipi Anin. 

"Iya. Nggak akan."

"Abang janji?"

"Nggak bisa janji dong. Sebab hidup di dunia kan nggak selamanya," senyum Sagala mesra. Sangat berbeda dari Sagala yang pertama kali Anin temui.

"Maksudku .. ya ... aku tahu. Tapi kan?"

"Iya. InsyaAllah."

Anin masih sulit percaya hingga menit ke-10 Saga tampil berbeda di hadapannya. Pun tentang keputusan Saga yang tak disangka langsung berani menyetir sendiri tanpa bantuan sopir. Sejak tadi fokus tatapan Anin hanya kepada sepasang kaki di bawah yang mengendalikan laju mobil.

Saga terkekeh sendiri mendapati istri berwajah sembabnya masih mengkhawatirkan dirinya. Tatapan Anin tak lepas dari sopir di samping. Saga membiarkan meski tidak nyaman juga dilihatin terus. Sesekali, tangan kiri Saga mengacak kerudung abu yang Anin kenakan sambil terkekeh gemas.

"Aku udah nggak papa. Beneran."

"Dokter bilang apa? Sejak kemarin Abang nggak pernah jawab."

"Karena mau bikin surprise. Udah ... tenang ya? Aku udah baik-baik aja."

"Aku belum percaya sebelum ketemu Dokter Reza atau dokter Abang di Singapore."

"Bolehlah. Lagipula aku makin suka diperhatikan istri gini. Ini jadi ke toko bunga?"

"Kalau Abang nggak kecapekan aja. Tapi ... apa pulang aja deh? Istirahat. Bunga bisa besok-besok lagi."

"Oke. Ke toko bunga. Aku nggak capek. Happy banget. Kalau kantor nggak nungguin, rasanya udah aku culik kamu. Kita jalan-jalan semingguan."

Akhirnya, ekspresi berseri itu muncul menggantikan wajah khawatir Anin. Gara-gara memikirkan apakah sudah tidak apa-apa pada fisik Saga sekarang, Anin sampai lupa ketiduran dalam mobil antar jemputnya. Takut jika ini hanya mimpi.

Tawa renyah bersahutan di antara keduanya. Anin amat bersyukur. Lebih-lebih Sagala. Ia lega luar biasa. Setelah sekian lama, akhirnya Saga bisa berkendara berduaan di jalanan tanpa ada sopir dan Din. Bercengkrama hal ringan bersama pujaan hati. Mampir ke sana, ke sini, akan Saga turuti tanpa mengeluh sedikitpun.

----------

"Abang! Jangan!"

"Biar aku aja. Ini berat. Yang jual aja!"

"Awas ada tangga, Abang!"

"Abang, no!"

Sederet larangan Anin untuk Saga. Mirip emak-emak TK yang terus membatasi anak aktifnya ini dan itu. Padahal pot bunga seberapa berat sih? Kalau mau, Saga sanggup menggendong Anin dengan beratnya yang memang Saga sadari semakin kurus sejak menikah. Ia berikrar takkan lagi menyusahkan istri.

Si pria yang dilarang hanya berdecak sembari geleng-geleng. Namun aksinya membantu penjual mengangkat beberapa pot ke bagasi, tidak ia hentikan. Kini, bagasi mobil Saga penuh oleh belanjaan tanaman Anin. 

Bukan rahasia lagi di keluarga inti, jika Saga berhasil berjalan kembali. Mama Roro dan Papa Agung adalah anggota keluarga pertama yang tahu ketika berkunjung ke Singapore. Berlanjut Bang Regi dan Chan yang sudah mendapat kabar lebih dulu dari telepon. Hanya para ART saja, orang-orang yang kaget setengah mati hari ini, selain Anin.

Saga sengaja menyembunyikan berita ini. Ingin melihat ekspresi Anin dengan mata kepalanya sendiri. Membuktikan bahwa masih ada perempuan yang begitu mendambanya di saat terpuruk pun sempurna. Masih tersisa sejumput cinta di pelupuk mata wanita yang Saga sukai. 

Saga Anin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang