"Kita ini suami istri, kan?"
Anin tidak pernah puas pada jawaban Saga siang itu. Pria yang kemudian gugup, membuang pandang ke sembarang arah tersebut, segera melepas kaitan kedua tangan. Saga memutar kursi roda membelakangi Anin.
Tangannya mengelus dada. Berusaha menenangkan debar parah yang mendadak mengganggu ketenangan.
Bagaimana ini? Bisa-bisanya Saga yang sehari-hari sukses mengontrol perkataan dengan memilih banyak diam, tiba-tiba keceplosan. Kebawelan Anin menular pada Saga.
"Iya," jawab Anin ragu.
Pemikiran tentang kilasan masa lalu Anin bersama Jeromi, sekonyong-konyong tertindih rata oleh pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya hubungan Anin dan sang suami.
Pertanyaan yang menggantung selama berhari-hari, karena Saga tak lagi membahas hingga sekarang.
Pertanyaan yang membuat kepala Anin ter-reset jadi tong kosong, lantaran ia kebingungan memasukkan informasi mana yang benar.
Saga adalah suaminya? Benar.
Saga adalah orang yang mencintainya sampai akhir usia akan bersama? Diragukan.
Anin perempuan bayaran yang mendapat tugas mengembalikan senyum Saga? Tidak sepenuhnya benar. Tidak dibayarpun, Anin rasa, menyayangi Sagala dan melakukan semua tanpa pamrih pun, ia sanggup.
Perempuan itu lebih banyak bengong menjalani siang-malam di Singapura.
Sering menumpahkan sesuatu. Menjatuhkan barang. Lupa berganti baju. Tidak minat berhias diri. Apalagi tawaran jalan-jalan keliling kota maju ini, semua Anin tolak.
Anin lebih tertarik mengamati sekaligus menelaah manual isi hati sang suami dari perlakuan manisnya belakangan ini. Anehnya, Anin baru sadar. Ini sih seolah tak ada lagi batasan antara keduanya. Garis khayal pemisah itu menghilang.
Hingga tak terasa seminggu terlewat. Sagala membaik. Mereka tak lagi menginap di rumah sakit.
Bagai mesin yang kelamaan dipanasin, otak Anin mengebul. Raganya ikut-ikutan letih bukan main. Seharian ini, Anin memilih tidur berselimut di kamar. Padahal, Saga sedang tidak ada jadwal terapi. Pria itu bersemangat akan menemani kemanapun Anin ingin berekreasi.
"Kamu sakit?"
Anin menggeleng membelakanginya.
Langit cerah, suhu tidak terlalu panas, Saga sehat, kantong hartanya siap dikuras tanpa melawan, sekarang malah gold digger kesayangannya ngambek.
Saga mengernyitkan kening.
Lelaki itu bukan tak sadar keanehan Anin selama beberapa hari ini. Bagai robot perempuan yang menurut pada apapun instruksi majikan. Persis seperti ngambeknya Anin ketika Saga melarang istrinya ini mendampingi di saat paling memalukan dan terpuruknya.
Merasa khawatir, Saga menyudahi aktivitasnya dari laptop. Ia singkirkan ke nakas. Kemudian dengan kedua tangan, ia gulingkan kepompong merah mudanya agar menghadap Saga. Pria itu mengamati detail wajah Anin. Mengabsen kening Anin. Juga menanyakan sejumlah gejala orang sakit. Anin menjawab baik-baik saja.
"Kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"
Anin terdiam sebentar. Tapi lama-lama dirinya bisa meledak kalau tidak mengeluarkan isi kepalanya yang sudah hampir meletus. Dalam suara lirih, Anin mengulang lagi pertanyaan sakral itu.
"Kita ini apa sih, Bang, sebetulnya?"
Tawa Saga pecah. Jadi bisul yang selama ini menyumbat suara Anin adalah soal status hubungan mereka? Melihat Saga menertawakan pertanyaannya, Anin mewek. Air matanya jatuh membasahi mantel yang menutup kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...