Terang-benderang menyapa mata Anin. Bukan oleh sorot mentari dari balik jendela. Melainkan Kimmi yang seenak hati melepas penutup mata tidurnya.
Terang yang menyapa penglihatan Anin barusan adalah lampu kamar. Sejak mereka bersahabat, Anin baru tahu Kimmi hanya bisa tidur dalam keadaan lampu menyala. Sedangkan, Anin berkebalikan. Baru terjatuh lelap oleh kegelapan. Seolah hati lebih tenang, menurut Anin, kegelapan selalu memberi pelukan dan rasa nyaman.
"Handphone lo. Ibu lo telepon barusan."
Anin masih mengerjap dalam duduk. Memanggil kesadaran penuhnya. Dia mengamati layar ponsel berlayar mati di nakas. Sudah tak ada lagi panggilan. Sembari merebahkan tubuh lagi ke kasur, Anin berguling ke tepi, mendekati nakas. Dilihatnya jam tangan yang masih menunjukkan pukul 2 malam. Matanya membola maksimal. Tubuhnya langsung tegap berdiri.
Ada masalah apa Ibu menelepon dini hari begini?
Tanpa pikir panjang Anin mendial nomor Ibu. Dalam beberapa detik, suara serak Ibu terdengar di seberang sambungan. Terpatah diiringi rintihan di belakang.
"Aya sakit. Demam. Tadi barusan kejang. Ini Ibu baru siap-siap ke rumah sakit. Diantar Aris."
Bagai kejatuhan bongkah batu, dada Anin terasa sesak tak mengenakkan.
"Tapi Aya nggak parah kan, Bu? Yaudah cepat. Ibu ke rumah sakit aja. Jangan panik. Ada Anin. Kabarin Anin terus. Kalau butuh apa-apa bilang Anin. Bawa BPJS. Ini Anin transfer dulu 2 juta kalau ada apa-apa."
2 juta bagi Ibu merupakan nominal besar. Juga untuk Anin yang bersusah payah mengirit demi menggemukkan rekening yang kurus kering beberapa tahun belakangan.
Setidaknya uang tersebut sanggup mewakili Anin yang selama 6 bulan terakhir tak bersua. Ibu hanya tahu Anin adalah orang sukses di ibukota. Anin selalu beralasan sibuk bekerja hingga tak punya waktu pulang. Dia hanya malu. Juga enggan melihat binar mata Ibu redup dipenuhi kekhawatiran. Tak satu pun keluarga di Blora yang tahu Anin bangkrut beberapa tahun lalu.
Sisa keluarga Blora yang Anin tinggalkan merantau, Ibu, Aris, Atika, Ai dan Aya adalah tanggung jawab Anin sebagai anak tertua. Ibu seorang pedagang sayur matang. Aris masih berstatus siswa kelas 3 SMA. Atika dan Ai masih berstatus murid SMP. Sedangkan Aya adalah adik terkecil, baru berusia 4 tahun. Bapak Anin meninggal saat Ibu hamil muda Aya. Mulai saat itu, hanya Anin dan Ibu yang saling bergotong-royong memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Anin pernah berjualan tas kulit, viral dan mendapatkan untung besar. Ia sempat cuti kuliah satu semester demi mengembangkan bisnisnya. Hingga pacar Anin bernama Jero, pria melarat yang bergaya gedongan, membawa lari seluruh modal yang Anin niatkan untuk membeli sebuah gerai. Beruntung Anin sempat membelikan 1 patok sawah di Blora. Sayangnya, ternyata hasil sawah juga tidak bisa diharapkan.
Anin kecewa. Segala usahanya selama ini sia-sia. Sebagai manusia lemah tanpa dukungan moril, cinta dan kepercayaan yang dimanfaatkan, Anin memutuskan untuk mengubah jalur usahanya. Yaitu menjadi bagian keluarga dari orang-orang berkantong tebal tersebut.
Sulit tidur karena memikirkan kabar Aya, Anin baru terlelap justru usai Subuh. Hatinya sedikit tenang karena Aya telah mendapat penanganan dokter. Akhir pekan dia akan merencanakan pulang Blora.
Penutup mata Anin lenyap lagi. Disingkirkan oleh Kimmi. Matahari sudah sangat garang menyusup di jendela. Melihat jam di nakas, Anin sontak berdiri.
"Gue telat," ucapnya sembari melesat mengambil handuk dan menuju kamar mandi.
"Emberan ..." Kimmi memulas bedak santai sambil senyum-senyum jahil melihat sahabatnya kelimpungan. "Lagian, udah gue bilangin nggak usah tidur."
Anin keluar tergopoh dari kamar mandi setelah 1 menit masuk. Mandi macam apa itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...