4. Rumah Pondok Indah

32.1K 4K 158
                                    

Anin masih harus naik ojek untuk sampai ke kediaman keluarga Birendra di Pondok Indah. Untungnya, ia masih bisa cabut kerja pada pukul 16.30. Terimakasih pada Bang Regi yang berhasil melobi Mr. Mahmud. Entah dengan cara apa. Anin tak sempat mampir ke kosnya di Ciledug. Dipastikan akan makin kesorean jika mampir pulang.

Setibanya di pintu masuk kayu jati yang menjulang setinggi 3 meter itu, seorang ART asing berseragam navy menyambutnya. Menyuruhnya masuk.

Tiap langkah Anin, dimanfaatkan untuk mengamati rumah utama, dimana dulu dia sering mondar-mandir sepulang kuliah. Banyak yang berubah. Mulai dari letak furniture baru yang baru Anin lihat sekarang, cat dan wallpaper. Bahkan lampu gantung di ruang tamu. Marmernya masih terasa sama dingin ketika Anin memijak. Namun, dia sendiri ragu. Ini motif lantai yang sama atau tidak seperti dulu.

Rumah utama tidak terlalu besar dibandingkan tetangga-tetangga. Tapi jelas berkali lipat rumah Anin di Blora. Pak Agung dan Bu Roro tipe orang yang sangat menghargai privasi. Tampak dari pekarangan rumah yang mengambil lahan 2 kali lipat dari biasa. Lalu mereka memetakan dengan membangun kamar—mungkin bisa dibilang rumah sekunder—khusus untuk tiap anaknya.

Isi rumah Chan adalah kamar tidur, ruang tamu kecil, dapur bersih dan ruang belajar. Anin tidak pernah sekalipun masuk ke rumah Bang Regi atau Sagala. Jadi tidak tahu isi di dalamnya. Hanya melewati area depan saja ketika dia harus bolak-balik tempat Chan dan rumah utama.

Bisa dikatakan, terdapat 3 rumah sekunder, yang dipisahkan oleh taman dan jalan setapak di sini. Berikut 1 mess kecil di ujung belakang untuk para pekerja.

"Duduk dulu, Mbak. Saya panggilkan Den Regi."

Anin mendaratkan diri di sofa rumah utama. Semua tamu selalu dijamu di sini. Pak Agung dan Bu Roro tidak mengizinkan siapapun langsung masuk ke rumah masing-masing anaknya tanpa izin. Sekalipun itu adalah pacar mereka. Semua yang datang harus diketahui minimal oleh Bu Roro. Kecuali nanti jika para anak telah menikah, maka orang tua akan membiarkan mereka mengambil pilihannya sendiri.

Baru menunggu sekitar 5 menit, sesosok laki-laki berseragam SMA swasta kenamaan Jakarta, datang melintasinya begitu saja. Tahu siapa dia, Anin langsung berdiri dan memanggil, "Chan!"

Chan menoleh. Dahinya mengernyit maksimal mengamati dari atas ke bawah sosok perempuan yang berjalan mendekat dengan riangnya. Atasan kemeja warna milo, lengan sesiku dengan motif titik-titik, bagian depannya dimasukkan ke dalam kulot hitam. Rambut panjangnya dikucir kuda, juga kaos kaki hitam menutupi kaki.

"Ih, masa lupa? Mbak Anin." Anin menunjuk diri sendiri. "Kita dulu sering bikin kemah depan kamar. Jangan bilang-bilang Mama kalau hari ini kita nggak belajar tapi malah pesta. Jangan bilang-bilang Mama kalau hari ini kita kabur beli mobilan, jangan bilang Mama kalau—"

"Mbak Anin berhenti!"

Ocehan Anin terhenti oleh bekapan tangan Chan yang langsung sadar siapa perempuan di depannya. Matanya membola memperingatkan agar Anin tidak kelepasan membocorkan semua kenakalannya. Anin adalah partner in crime Chan masa dulu. Satu-satunya akses Chan untuk merayu mamanya agar meloloskan keinginan Chan.

Anin menggangguk sembari mengulum tawa yang tertahan. Tangan Chan mengendur melepaskan. Baru akan mulai bernostalgia, Bang Regi langsung memotong dari belakang.

"Oh ... jadi dulu sering ada yang bolos privat ya padahal gurunya ada. Gurunya juga ngajarin bolos?"

Anin meringis tidak enak .

"Yang penting Chan lulus dan nilai bagus!" bela Chan. "Belajar kan juga harus dalam suasana menyenangkan. Dan Mbak Anin ini punya sejuta cara bikin suasana jadi menyenangkan."

Anin tersipu ketika Chan membelanya di samping. Tubuhnya besar. Tinggi menjulang. Jakunnya sudah tampak, juga bulu halus menghias jambang dan bagian kumis. Matanya bulat. Wajahnya tampan. Setampan Bang Regi yang mirip Chris Evan versi kulit agak gelap itu. Sepertinya kebanyakan main golf si Abang. Sedangkan Chan, berkulit putih bersih. Persis Bu Roro.

Tadi sebelum bertemu, Anin berniat ingin langsung berlari memeluk Chan dan mencubit pipinya yang selalu menggemaskan. Ternyata, setelah di depan mata, Anin sungkan sendiri. Dia berbeda dari Chan kecilnya dulu yang hobi merengek.

------

Sebelum hari gelap, Anin diajak Bang Regi untuk berjalan santai mengelilingi belakang rumah. Di jalan setapak penghubung masing-masing rumah sekunder.

Acara mengobrol bersama Chan pun, dipotong oleh Bang Regi.

Rumput hijau pendek. Lampu taman kuning mulai menyala. Beberapa menyorot tanaman tinggi seperti palem dan beberapa tabebuya. Air mancur bergemericik mengantarkan matahari tenggelam.

Anin bernostalgia. Pertama ketika keluar dari teras samping, dia menemukan rumah Chan. Cat bermotif astronot itu kini telah berubah abu muda.

Berlanjut pada dua bangunan berikutnya, Anin merasa sedikit berbeda. Rumah Sagala menjadi lebih kecil dan di ujung sana rumah Bang Regi berubah lebih besar.

Bang Regi berhenti di depan rumah Sagala. Rumah berdinding full kaca itu belum tertutup gorden. Tak mirip rumah lagi. Karena di dalamnya hanya ada sebuah ruangan luas dengan cermin besar. Juga alat-alat asing yang Anin tak ketahui gunanya. Kabinet panjang dan sofa panjang diletakkan di ujung. Lantai atas ada sebuah kamar dengan pintu tertutup. Seorang ART sedang mengepel.

"Ini sekarang jadi ruangan latihannya Saga. Dan tempat saya ... " Bang Regi menunjuk rumahnya dulu. "Udah jadi kamarnya Saga. Saya tinggal di apartemen. Dekat kantor."

Anin manggut-manggut bersamaan mulut yang membola. Mencoba mencerna informasi baru. Berjalan beberapa langkah, mereka terhenti oleh sosok yang keluar dari rumah Sagala yang sekarang.  Merangkul seorang ART yang sedang menyembunyikan muka sedihnya.

"Mam?" panggil Bang Regi mendekat setelah pintu tertutup.

"Oh, hai. Udah datang rupanya." Bu Roro menepuk bahu ART di sebelahnya. "Kamu duluan ya? Saya ada tamu."

"Baik, Bu."

"Anin apa kabar?" Bu Roro maju dan memeluk Anin. Seperti biasa. Perempuan berkelas ini ramah dan lembut. Wajahnya tak berubah sejak Anin terakhir menginjakkan kaki di sini. Rambut digelung dengan bagian depan sedikit disasak ke atas agar terlihat mengembang. Di suasana yang mulai gelap, terlihat beliau masih on memakai make up. Keriput juga seolah enggan menyapa kulitnya. Tinggi beliau setinggi Anin. Tidak terlalu gemuk tapi juga tidak kurus. Postur normal untuk seumuran beliau.

"Baik, Bu."

"Nanti makan malam bareng di sini aja ya?"

"Tapi ... " Anin mau, tapi atas nama kesopanan, dia harus sedikit menolak.

"Udah nggak papa. Biar waktu pulang, nggak usah masak lagi. Langsung istirahat."

Akhirnya Anin mengangguk. Anin terdiam. Ingin menanyakan Sagala ada di dalam rasanya nggak ikhlas. Daripada Bang Regi mengulang sindiran kemarin, maka Anin mengantisipasinya demi kesopanan.

"Saga apa kabar, Bu?"

"Oh iya. Ayo!" Seolah baru teringat, Bu Roro merangkul bahu Anin. Bu Roro tertawa kecil yang ditanggapi oleh Bang Regi. Lantas, tanpa meminta persetujuan lagi, menyeret Anin ke dalam rumah Sagala. Rumah bercat abu tua dengan aksen abu muda di beberapa titik. "Kita sapa Saga. Ada di dalam anaknya. Mama udah bilang Anin akan ke sini."

--------

Mamake deg-degan.. misterius sekali Saga ini.
Yuk 100 komen bisa yuk.. 🤭

Saga Anin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang