Suara bersin memekak telinga.
Sagala tak henti bersin sejak tadi di pesawat dan kini mereka beristirahat di hotel. Seharusnya mereka tinggal di rumah sakit. Sagala menolak. Pria berkursi roda manual itu benci rumah sakit berikut aromanya. Ia lebih memilih menginap di tempat lain jika kondisinya dirasa cukup stabil untuk rawat jalan.
"Nggak kedinginan ini AC nya? Abang bapil."
Memang tidak sedingin di rumah sih. Tapi tetap saja, suhu paling minimal di kamar hotel ini, amat dingin bagi tubuh Anin.
"Enggak. Kalau kamu nggak kuat, besarin aja. Aku udah biasa."
"Aku juga udah biasa tidur di kamar freezer."
Anin menaikkan selimut Sagala hingga sebatas dada. Sebelum tidur, perempuan tersebut melakukan rutinitasnya. Ke kamar mandi, membersihkan muka, lalu mengenakan pakaian eskimonya. Sedangkan lelaki yang terlihat sedikit pucat dari biasanya, langsung terlelap begitu Anin keluar dari kamar mandi. Saga kelelahan setelah seharian melakukan pemeriksaan lengkap di rumah sakit rujukan di sini. Tinggal besok menemui dokter lagi dan merencanakan terapi yang akan dijalani.
Sayangnya, keadaan Saga tidak sesuai yang direncanakan. Pria itu demam di malam harinya. Anin terbangun karena tubuh Saga menggigil. Gegas, ia segera mematikan pendingin ruangan dan menghubungi Din. Dini hari, terpaksa Saga harus dipindahkan lagi ke rumah sakit meski menggunakan sedikit paksaan.
"Aku nggak apa-apa."
"Abang demam."
"Demam biasa. Ntar juga sembuh. Kamu jadi nggak tidur."
"Aku di sini temani Abang. Sebentar lagi Abang dipindah ke kamar." Punggung tangan Anin mengecek suhu kening Sagala. "Ini udah lumayan turun. Masih pusing?" Namun, Sagala segera menyingkirkan tangan itu, berganti menggenggamnya.
"Pulang aja. Tidur di hotel. Istirahat. Din?"
Belum sempat Sagala memaksa Anin kembali ke hotel ditemani Din, perawat memindahkannya ke kamar VVIP yang telah dipersiapkan. Tepat sebelum mencapai pintu, Anin diberhentikan oleh Din. Anin mengernyit dengan pandangan penuh tanya.
"Non mau saya antar kembali ke hotel?"
Anin bersidekap. Pikirannya merasa aneh. Tatapan Anin menantang Din. Din sendiri, walaupun berbadan kekar, ia tetap hormat pada majikan.
"Kenapa, Mas Din?" Tak ada jawaban, Anin bertanya lagi. "Kenapa? Kenapa Mas Din dan Abang seolah mengusir saya? Saya mau telepon Mama juga nggak boleh?"
"Den Saga yang menyuruh, Non. Saya nggak berani melawan."
"Kenapa?" tanyanya lagi belum puas oleh jawaban Din. "Saya ini istrinya. Kalau mau saya nggak hubungi Mama, bisa kasih tahu saya? Atau saya harus ngasih kabar ke Mama di Jakarta?"
"Aden ... Aden nggak mau Bu Roro panik."
"Panik kenapa?"
"Den Saga nggak mau dilihat orang lain ketika sedang kesakitan. Kakinya bisa tiba-tiba akan sakit sekali, di kondisi-kondisi seperti ini."
Anin berdecak. Jarinya memijat kening yang berkerut. Memikirkan bagaimana cara mengatasi sikap Sagala yang selalu menutupi kesakitannya di depan Anin ini?
"Kasih tahu saya apa aja yang perlu dilakukan. Tugas Mas Din selesai di sini. Nanti saya akan telepon minta tolong kalau beneran nggak sanggup."
----------
"Din mana?"
Sagala langsung menanyakan asistennya ketika perawat dan dokter pamit pergi setelah menjelaskan apa saja yang Anin harus kerjakan selaku keluarga pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...