13. Panti Jompo

31.5K 3.9K 126
                                    

Anin kira menjadi istri orang kaya akan membuatnya lebih santai dibandingkan seorang caddy golf yang mengharuskan berangkat pagi pulang malam. Ternyata, lebih melelahkan.

Menyenangkan sih. Anin tidak perlu memikirkan akan makan apa siang ini, sore ini, karena kalau tidak makan dirumah yang telah disiapkan oleh koki Bu Roro, minimal mereka akan menyantap hidangan restoran enak jika pergi keluar. Naik Alphard tanpa kepanasan. Lelah bisa minta pijat Narti di rumah. Semua Anin syukuri, kecuali kebebasannya yang mulai terkikis perlahan. Terkadang Anin ingin menikmati akhir pekan bersantai di rumah. Nonton TV, tidur, masak mie goreng, atau sekadar main salon-salonan bersama Kimmi. Kali ini mana mungkin? Anin sibuk ke panti jompo, dilanjutkan mengikuti arisan sosialita Bu Roro bersama teman-teman berkelasnya. 

Bu Roro semangat sekali. Kapan lagi? Baru sekarang beliau merasakan punya anak perempuan yang bisa ditarik kemana-mana menemaninya pergi. Salon, arisan, belanja, acara amal, juga semua kegiatan ala perempuan yang beliau idamkan sejak dulu. Asistennya memang selalu ikut, tapi tidak seinteraktif Anin. Dessy tipikal perempuan robot. Mengikuti perintah majikan saja tanpa banyak basa-basi dan tuntutan.

Di panti jompo, Anin diperkenalkan pada seorang nenek belum begitu renta bernama Bu Endah. Terbaring di atas kasur karena penyakit tulangnya, yang tak disangka adalah pemilik panti ini. Salah satu perempuan yang jadi saksi bagaimana dekatnya Sagala bersama sang nenek.

"Istrinya Sagala udah bisa apa?"

Anin langsung pucat geragapan. Bisa apa dia? Masak saja belum khatam. Anin cuma punya modal ijazah S1, pengalaman jualan online, pindah-pindah perusahaan sebagai karyawan kontrak, juga kesopanan budaya Jawa yang diajarkan oleh Ibu. Selainnya, akan Anin usahakan apa saja yang keluarga Birendra inginkan Anin menjadi apa. 

"Masak?" jawab Anin ragu. "Baru sarapan simpel, Bu."

"Masak yang enak untuk Saga ya?" pesan Bu Endah menggenggam tangan Anin di pangkuan. "Jadi teman ngobrolnya setiap saat. Saga yang saya amati selalu kelihatan sedih saat datang. Baru lebih fresh ketika pamit pulang. Setelah ketemu neneknya di sini."

Almarhumah nenek Sagala bernama Melati Sukma. Penghuni tetap panti ini. Sejak diboyong dari Jogja, beliau menolak untuk dirawat sendirian di rumah karena hunian gedongan itu tidak bernyawa. Ramai ART tapi sedikit nyawa keceriaannya. Orang-orang kerja pagi. Pulang hanya untuk tidur. Lantas, Sagala menjadi pengunjung rutin panti ini sejak kecelakaan. Mereka akan sama-sama menjajarkan kursi roda keduanya di taman sambil memberi makan ikan di kolam. Mengobrol hal kecil hingga nasehat hidup yang sekarang Sagala rindukan. Bu Endah menceritakan semua selagi Bu Roro bersama teman lainnya disibukkan oleh acara di ruang tengah.

"Dia satu-satunya anak muda yang mau datang ke rumahnya nenek-nenek bau tanah begini. Anak baik."

Anin menganggukkan kepala. Merasa amat percaya pada kalimat Bu Endah. Padahal mereka baru bertemu hari ini. Semua terasa benar. Hal yang sama juga Anin alami. Seseram-seramnya Sagala, Anin tidak pernah disakiti olehnya. Sejahat-jahatnya mulut Sagala, dia tetap baik membantu Anin. 

"Saga dan almarhumah ngobrol apa, Bu?"

"Banyak. Dan terakhir sebelum beliau meninggal, Bu Melati minta Saga menikah. Makanya mungkin dia mau terima perjodohan mamanya kali ini."

"Berarti Saga udah beberapa kali dijodohkan ya?"

Bu Endah mengangguk. "Sagala trauma, Nak. Dia nggak percaya ada perempuan baik di dunia ini. Dia cerita, dulu pernah ada temannya yang punya cita-cita punya suami kaya sampai semua trik di buku dilakukan. Saga nggak percaya awalnya. Terus, sebelum kecelakaan, Saga mungkin ada 3 kali gonta-ganti pacar karena ternyata teori temannya itu terbukti ... "

Saga Anin (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang