"Saga sakit."
Anin berpikir keras di depan meja kerja Pak Agung. Bang Regi meminjam sebentar ruangan beliau. Satu-satunya ruangan yang Regi punya di rumah ini hanya kamar tidur tamu yang sering dia tempati jika menginap.
Sagala memakai baju serba panjang. Juga selimut. Apakah pria itu sedang masuk angin? Atau yang lebih parah? Kanker? Makanya dia sangat emosian. Merasa paling sengsara? Depresi? Hidupnya akan berakhir?
Kini Anin merasa bersalah tadi membatin sumpah serapah ketika Sagala mengusirnya secara tidak hormat. Mengancamnya sampai jantungnya mau lepas. Tepat hanya beberapa menit setelah Bu Roro pergi.
"Sakit apa, Bang?"
"Lumpuh." Anin langsung membeku di tempat. Wajahnya berubah serius. "Dua kakinya udah nggak bisa digerakkan sejak kecelakaan 3 tahun lalu."
Anin membisu. Tidak tahu mau berkata apa. Apakah harus mengucapkan ikut bela sungkawa atau sukurin aja? Pasti ini karena Sagala kebut-kebutan, kan?
Setan di kepala Anin mulai bergelut dengan pikiran baiknya.
Anin masih mencoba menerka, menganalisis, juga menelisik ekspresi Bang Regi. Apakah Bang Regi bercanda?
"Setelah itu, dia nggak semangat mau ngapa-ngapain. Lanjut kuliah, kerja mengisi posisi di perusahaan, atau sekadar main. Saya siapin akomodasi untuk liburan pun nggak mau diambil." Bang Regi mengambil nafas dalam. "Dan nggak tahu ini karena cara bergaul Saga yang salah atau bukan, teman-temannya nggak ada lagi yang mau dekat sama dia. Undangan saya untuk menemani Saga ditolak pelan-pelan. Semua sibuk. Semua mundur teratur. Saya prihatin, Nin."
Bang Regi mundur. Merebahkan punggung lelahnya pada sandaran kursi putar Pak Agung. Satu tangannya mengetuk-ngetuk meja menggunakan bolpoin. Di atas sebuah map yang Bang Regi sebut sebagai kontrak kerja.
"O ... kay ... terus?" tanya Anin perlahan ragu.
Perempuan yang telah kenyang dijamu makan malam itu mulai bisa menebak-nebak kemana arah bicara Bang Regi. Meski sambil ketakutan, dia takkan melewatkan makanan gratis.
Ternyata penawaran Bang Regi jauh dari yang Anin bayangkan. Dia pikir akan ditugaskan mengajar Chan. Lebih bagus lagi, Anin pikir akan ditawari mengisi lowongan posisi strategis di kantor Bang Regi.
"Pekerjaan yang saya tawarkan ke kamu adalah jadi teman Saga."
"Merawat Saga begitu?" Bang Regi mengangguk. Anin menghela nafas panjang. "Bukannya saya nggak ikut sedih atau mau bantu, tapi Saga cowok, Bang. Badannya lebih besar dari saya. Nggak mungkin—"
Bang Regi menegakkan punggung. Dia menggenggam map hitam tersebut dengan kedua tangan.
"Bukan-bukan." Bang Regi tersenyum. "Untuk asisten pribadi Saga udah ada. Namanya Din. Nurdin. Trainer dan dokter dia juga ada. Sedangkan, kamu kerjanya jadi teman ngobrol Saga aja. Lebih bagus kalau bisa bujuk Saga lanjut masternya lagi. Saya akan mengurus gimana caranya. Dan saya kuliahkan kamu sekalian. Kamu mau lanjut master nggak? Demi prospek karirmu, Nin."
Wajah Bang Regi terlihat bersemangat. Seperti sales sedang menawarkan panci multigunanya di depan ibu-ibu PKK di Blora.
Anin jelas menolak. Kali ini benar menolak. Bukan semata biar diberi penawaran lebih tinggi. Gila aja! Males banget. Kalau Chan, Anin pasti mau. Chan kooperatif. Sedangkan, Sagala? Patung hidup itu—
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
Roman d'amourPria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...