"Udah besar perutnya."
Anin tersenyum mendengar pujian dari belakang. Sedang memeluk, dengan tangan sang suami mengusap-usap perut yang kini bersemayam satu nyawa yang begitu didamba keduanya.
Suhu ruangan masih di angka 16 derajat. Tetap dingin, namun menurut Anin ini jauh lebih hangat dibandingkan awal-awal pernikahan. Sagala punya ide lebih bagus belakangan ini, demi mencegah Anin memakai mantel eskimonya ketika tidur. Ia menyuruh Narti menyiapkan selimut yang dipesan khusus. Linen dengan tebal 2x lipat dari selimut biasa yang ada. Sehingga Anin hanya akan memakai sweaternya saja. Mungkin ditambah juga oleh hawa panas yang dirasakan ibu hamil di usia kandungan segini, Anin sering mengeluh kegerahan tiba-tiba.
"Jadi ke TTV?" Anin mengangguk masih dalam mata terpejam. Sagala sibuk menyibak helai rambut yang menutupi wajah perempuannya. "Jangan lama-lama. Jam makan siang aku jemput ya?"
"Aku nggak sama Pak Gik aja? Takutnya Abang sibuk."
"Enggak. Hari ini udah Denis jadwalin khusus. Aku mau ajak kamu ke satu tempat. Spesial. Pak Gik antar kamu sampai aku datang."
Barulah mata bulat itu mengerjap. Berusaha membuka sempurna. Anin berbalik. Bergerak kesusahan demi menghadap lawan bicara.
"Kemana?"
Sagala mengulas senyum.
"Kejutan. Kalau dikasih tahu sekarang, nggak surprise lagi nanti."
"Abang nih apa-apa aku harus selalu bilang. Nggak mau dibikin kaget. Tapi hobi banget dikit-dikit bikin surprise."
Kekehan geli terdengar. Pria yang masih sama-sama bergelung dalam satu selimut ini tertawa ringan, mengusap kepala si ibu hamil.
Sekian bulan terlewati. Perut Anin semakin besar. Kini, telah memasuki usia 28 minggu. Kehamilan pertama yang begitu dinanti seluruh anggota keluarga.
Selama itu pula, Anin dibantu oleh seorang dosen tutor, sedikit demi sedikit sukses mencicil penyusunan proposal tesisnya.
Meski tingkat kekhawatiran seorang suami pada istri yang hamil meningkat kian harinya, Sagala bukan pria pengekang yang mewajibkan Anin harus berada terus di rumah dan dalam pengawasan suruhan Sagala. Ia membebaskan Anin kemanapun dan melakukan hal-hal yang disukainya, selagi menurut untuk pulang tepat waktu, izin pada suami dan menjaga kesehatan diri serta janinnya.
Hari ini, Anin dan Bu Grace, tutor Anin, berangkat menuju stasiun TV Bang Regi untuk meninjau data yang akan mereka pergunakan untuk judul Anin kali ini. Tentang bagaimana nilai pelanggan, user experience dan brand experience pada produk digital streaming yang 2 tahun belakangan diluncurkan oleh Eaglevision.
Anin turun dari Alphard hitam yang berhenti di lobi TTV. Segelintir orang yang mengenalnya langsung menunduk. Memberi hormat.
Mereka langsung menuju ke atas untuk mengerjakan apa yang telah Regi siapkan bersama seorang karyawan yang berkaitan. 3 jam bukan waktu singkat. Badan Anin pegal semua setelah menyortir data mana yang layak digunakan.
"Bu Anin sama Bu Grace bisa langsung ke ruang tamu Pak Regi. Pesan beliau, mungkin ibu-ibu disuruh menunggu sekitar 30 menit lagi. Masih sampai tol Jagorawi."
Anin dan Bu Grace mengikuti karyawan tersebut mengantarkan ke ruang Pak Regi. Di sana, telah dipersiapkan makan siang untuk Anin dan Bu Grace. Tepat sebelum masuk, mereka dipertemukan sekretaris Regi.
"Silakan dinikmati. Ini memang dipesan untuk ibu berdua. Pak Regi sebentar lagi sampai."
Sansan mempersilakan mereka duduk di ruang tamu khusus direksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...