"Dengan satu syarat."
Sagala mengernyit. Pria itu melonggarkan tangannya. Anin segera membalas sebelum lepas. Kemudian berlutut lagi di depan Saga. Tautan tangan mereka, Anin bawa ke atas pangkuan Saga.
Lorong antara rak bumbu dan bermacam jenis makanan ringan ini sepi. Jadi Anin memanfaatkan momentum ini daripada menundanya nanti dan keburu Sagala kembali ke mode mute lagi. Masa bodoh Din mendengar. Din adalah satu kesatuannya Saga.
Anin menarik nafas panjang sebelum mencoba peruntungannya.
"Dengan syarat, kita nggak perlu lagi pura-pura. Aku bukan anak kuliahan kayak dulu lagi yang masih kuat nanggapin marah kamu. Nggak sanggup, Ga. Aku pilih berdamai. Aku tahu kamu bukan tipe pemarah begini juga. Kamu cowok yang hangat. Aku capek dengarnya dan aku yakin kamu juga capek begini."
"Nggak. Saya yang sekarang memang begini."
Anin berdecak.
"Dengerin dulu. Aku nggak coba merubah kamu. Cuma ... ya ... dikurangin dikit bisa nggak?" Anin tersenyum mengeratkan genggamannya. " ... kita mulai coba dari panggilan aku-kamu. Kalau kamu belum bisa anggap aku ini istri, kita bisa mulai dari berteman lagi. Kamu boleh tetap berpikir kalau aku musuh yang akan mengeruk harta kalian. Toh, aku udah jujur sama Mama dan Bang Regi untuk waspada. Hebatnya mereka nggak takut miskin. Kenapa kamu mesti takut?"
"Saya nggak takut."
"Oke. Bagus." Anin bertambah semangat. "Dan mulai sekarang, kita jaga perasaan masing-masing. Kita tinggal serumah, Ga. Apa jadinya hubungan suami istri kalau rumahnya cuma diisi urat emosi terus?"
"Dengan syarat."
Anin menaikkan sebelah alis. Senyumnya meredup sekejap mendengar Sagala juga meminta syarat. Namun, kemudian Anin terbitkan kembali senyum itu karena apapun yang sedang mereka diskusikan sekarang setidaknya akan memperbaiki keadaan keduanya. Sagala tidak menolak genggaman tangan Anin saja sudah hebat. Sekarang meminta syarat, maka akan Anin setujui.
"Ceraikan saya dalam setahun saya nggak sembuh. Kamu boleh mengambil semua hak yang dijanjikan Mama dan Bang Regi ke kamu. Cari pria normal lain dan hidup tenang. Mulai pintar-pintar investasi dari sekarang."
Dahi Anin kian berkerut. Lantas, terbahak ketika Sagala menyarankannya agar mulai menanam investasi dari sekarang.
"Oke," jawab Anin mantap meyakinkan Sagala.
"Syarat lain."
Anin tak percaya. "Masih ada? Apa?"
"Saya menerima pertemanan. Tapi tidak untuk jatuh cinta atau suka sama kamu."
Anin kembali ingin tertawa. Benarkah? Anin agak sanksi tentang syarat ini.
"Jadi kalau kamu sembuh, kita teruskan pernikahan kita?"
Tatapan Sagala buyar mendapat pertanyaan kesimpulan dari Anin. Matanya lari menatap sederetan bumbu kalengan di atas rak. Asal tidak menatap Anin, dia berani.
"Kita akan buat kesepakatan baru lagi nanti."
Anin bangkit dan mengangguk. Dia melepas tautan tangan keduanya lantas menawarkan tangannya lagi untuk dijabat. "Deal?"
Sagala menyambut uluran tangannya. "Deal."
"Mas Din kamu jadi saksi."
"Din buat kesepakatannya dan pastikan perjanjian ini jadi rahasia kita bertiga."
Din yang tersenyum sedari tadi menyaksikan perjanjian ini langsung pias ketika dua majikan tiba-tiba menoleh padanya dan menunggu anggukan kepala Din. Setelah kesusahan menelan ludah, akhirnya Din mau juga mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...