Sagala terperanjat saat seseorang yang ia temukan dalam pelukan adalah Anindita.
Perempuan yang tadi mengusap kepala penuh sabar, menggenggam tangan, juga membangunkan menyuruhnya agar ibadah Subuh terlebih dahulu, ternyata bukan sebatas mimpi belaka. Si rambut acak-acakan ini nyata. Tertidur pulas dalam dekap.
Cukup lama waktu yang Saga habiskan, hanya untuk membiarkan si putri Eskimo itu meringkuk hangat dalam satu selimut bersama sang suami. Tanpa bantal, ia lelap bagai bayi. Kepalanya menyudut di ketiak Sagala seolah mencari kehangatan di tengah badai salju Kutub Utara.
Bahkan ketika seorang petugas RS masuk mengantarkan sarapan, Saga sengaja melarang si ibu itu bicara. Agar tidak berisik dan membangunkan Anin. Ia tanpa malu lagi dilihat orang lain. Anin beruntung. Di kepala Sagala tidak terbersit keinginan untuk menendangnya terjun dari ranjang pasien setinggi ini.
Kesempatan juga bagi si Tuan Freezer menikmati pemandangan indah. Sampai-sampai, rasanya ia sudah lupa kesakitan macam apa yang terjadi semalam.
Sejam kemudian, barulah usaha Saga dirusak oleh alat medis yang berbunyi. Alarm menandakan obat telah habis. Anin geragapan di ranjang. Sontak bangun terduduk tanpa persiapan. Tubuhnya limbung. Hampir jatuh ke lantai jika tangan Saga tidak sigap menahan pinggangnya.
"Abang? Masih sakit? Yang mana yang sakit?"
Setelah sadar, wanita itu baru menoleh dan menanyakan kabar sang suami.
"Sudah enggak."
Anin menghela nafas lega. Melihat tidak ada ringisan pedih, juga gemetaran berlebihan menahan nyeri, akhirnya Anin mempercayai kata-kata Sagala. Ia membenarkan ikatan rambut panjangnya sebelum turun menuju meja makan ketika melihat ada 2 porsi makanan tersaji di atasnya.
"Kok udah dingin? Dari jam berapa diantarnya? Harusnya Abang bangunin aku tadi," omelnya.
"Bawa sini. Aku lapar, tungguin kamu bangun."
"Lagian. Salah sendiri nggak bangunin."
Anin telaten menyuapi Sagala, sembari sesekali memasukkan makanan ke mulutnya. Pasien VVIP mendapat dua porsi makan. Salah satunya diperuntukkan bagi keluarga penunggu pasien.
"Kamu nggak belanja? Kamu belanja aja, mumpung di sini. Biar Din yang antar keliling."
Anin menggeleng. Tangannya sibuk memisahkan wortel dari piring Saga ke piringnya karena pria itu tidak terlalu suka.
"Di sini aja. Mau belanja apa juga? Aku udah kenyang diajakin Mama waktu di Jakarta."
Saga makan banyak pagi ini. Porsi makannya habis, sampai Anin menambahkan separuh nasi jatahnya untuk Saga. Ia akan kembali ke hotel dan berjanji pada Sagala untuk mengulang sarapan lagi di sana.
"Apapun yang kamu mau." Sagala mengambil tas dari nakas, lantas menyerahkan selembar kartu bank warna hitam pada Anin. "Ini. Belanja pakai ini. Passwordnya 6 digit terakhir nomor handphoneku."
Anin menggeleng. "Mau kutabung aja. Bingung juga. Kok aku tiba-tiba disuruh belanja? Di sini kan tujuanku mau temani Abang terapi. Tapi aku terima ya kartunya?"
Anin meringis senang. Tetap menerima kartu yang Sagala berikan tanpa malu lagi. Lantas, meletakkannya ke kantong asal.
Selesai makan, mengantikan diapers, juga memandikan bebek pasien bayi besarnya, Anin bersiap pulang. Bagai emak-emak yang akan menitipkan anak balitanya, ia bawel sekali mengomeli Din agar segera memberinya kabar jika terjadi sesuatu pada Saga selama Anin di hotel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...