"Beneran ini naik motor? Abang berani?"
Anin bertanya ketika menyerahkan kunci motor ke tangan Saga. Motor Anin yang dulu di Ciledug sudah dijual, dan diganti baru sebagai transportasi Ibu di Blora. Aya gagal ikut, karena Ibu takut akan mengganggu kedua pasangan baru ini.
"Motor matic di depan itu? Duh itu mah kecil banget, Non."
Tanggapan Saga membuat Anin mengerutkan kening. Apakah Sagala tidak trauma karena motor juga, dia jadi seperti apa kemarin?
"Maksud aku—"
"Oh ... " Saga baru paham sekarang. Tangannya langsung merangkul Anin berjalan menuju halaman. "Aku udah nggak papa. Kalau kamu tanya soal trauma, aku nggak trauma naik motor kok. Tapi, aku bakal larang kalau kamu naik sendiri tanpa aku yang nyetirin!"
Anin masih berpikir. Sagala tertawa sembari mengusap-usap kerudung pasmina Anin.
"Traumanya sama perempuan. Ngeri banget ya awewe di luar sana? Nggak ada yang baik."
"Anin kan juga perempuan, Abang."
"Iya juga ya?" Sagala mengedikkan bahu. "Abang rasa kamu bukan perempuan deh. Tapi pelawak menyedihkan. Hebat lho."
"Ih, apaan sih?" Anin berontak dari rangkulan Saga.
"Bisa bikin ketawa, tapi juga kasihan dalam satu waktu. Jadinya nggak tega, lama-lama jadi sayang. Sayang banget." Senyum Saga.
Anin mencubit pinggang Saga yang telah duduk di atas jok. "Abang!"
----------
Anin dan Chan sedang mengendap-endap melewati pintu samping. Chan sejak tadi menangis tidak mau belajar. Meski Anin telah menggunakan berbagai cara, tantrum Chan tak kunjung reda. Anin stres sendiri. Antara takut dipecat juga dia tidak tegaan memaksakan menjejali Chan materi pelajaran.
Mereka telah menyusun rencana sesempurna mungkin bersama Pak Nan agar mengantarkan ke PIM. Membeli es krim kesukaan Chan juga main Timezone sebentar. Namun, Pak Nan tidak bisa membawa mobil, karena masuk bengkel. Sedangkan memakai mobil lain rasanya tak mungkin. Anin bisa kena hukuman. Mereka berakhir membawa motor Pak Nan, bertiga berboncengan menuju mall.
"Sa ... Saga."
"Ba ... Bang Saga."
Anin dan Chan saling tukar pandang. Keduanya sama pucatnya. Pasalnya, Chan termanja di keluarga Birendra. Si Paling Anak Emas. Sampai kemanapun tidak berani tanpa bantuan para ART-nya. Apalagi jika bertemu Papa. Sudahlah bungkam bertekuk lutut.
Saga memergoki keduanya ketika berpapasan masih di luar gerbang.
"Mau kemana?"
"Oh ... ini mau beli pensil. Pensil Chan rusak. Ya kan Chan? Ke toko buku situ doang." Kilah Anin.
Mereka sama-sama tidak turun dari motor. Hanya Pak Nan yang mematikan mesin, menghormati sang tuan rumah yang masih menyalakan mesin motornya sambil berteriak.
"Awas anak orang ilang. Lo nggak bisa gantiin!"
Sagala mendongak melihat langit. "Mendung juga. Awas anak orang sakit. Lo belum gajian kan? Biaya dokter Chan mahal!"
Pak Nan ikut ketar-ketir di depan tapi diam merunduk saja.
"Bang Saga jangan gitu! Aku mau beli pensil doang kok. Ya kan Mbak Anin?" Chan ikutan berbohong. "Aku naik mobil Abang bisa nggak? Mobil Pak Nan di bengkel."
"Ogah! Ke situ doang kan? Dah motoran aja. Gue mau pake ngedate."
"Ih, Bang Saga pacaran mulu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...