Bu Roro sekonyong-konyong berdiri. Pekikannya keras. Menggetarkan piring-piring lauk di meja makan. Pak Agung berpandangan pada Regi dan Chan. Kerasukan apa mama anak-anaknya ini?
"Pa, lihat!"
Ponsel di tangan, beliau sodorkan pada sang suami. Dua anak lain tak kalah penasaran. Bang Regi dan Chan memutari meja. Meninggalkan santapan mereka demi menyaksikan foto macam apa yang barusan Mamanya lihat. Senyum mereka berkembang serempak. Bahkan Pak Agung sampai mengucap alhamdulillah. Mama memeluk Papa Agung di kursinya. "Kita nggak salah pilih Anin."
"Eits! Bocah sedetik aja lihatnya!" Bang Regi langsung mendorong jidat Chan ke belakang menjauhi kerumunan.
"Ma, Bang Regi nih!"
"Regi? Yang rukun sama adiknya."
Regi Birendra hanya bisa menjulurkan lidah pada Chan sembari mengejeknya, "Manja!"
"Apa ini artinya Saga udah siap ketemu orang kantor lagi?" imbuh Regi. Si kakak sulung yang remuk jiwa raga mengurusi 2 perusahaan sekaligus. Perusahaannya sendiri, juga milik Saga.
Anak-anak Agung Birendra telah disiapkan minimal memiliki 1 perusahaan atas nama mereka. Sedangkan PT. Digdaya Agung yang belakangan dikelola Mama Roro kelak juga akan diwariskan pada ketiga anaknya.
"Kenapa? Kamu udah nggak kuat, Bang?"
"Iyalah, Ma. Mau gimana juga Regi punya kehidupan sendiri," jawab Regi memutari meja makan. Kembali ke duduknya.
"Mama belum tahu. Nanti Mama telepon dokter Saga dulu. Tapi Mama belum tega gimana kalau nanti kesehatan—"
"Kesehatan ya?"
Regi tertawa mengejek. Batal duduk di bangkunya. Ia mencondongkan badan. Menopangkan kedua tangan ke pinggiran meja. Hembusan nafas lelah keluar dari bibir.
"Kesehatan ... kesehatan ... Selalu saja! Alasan yang sama! Sampai mana Mama mau biarin Saga seperti itu terus? Laki-laki itu harus ditempa, Ma. Lembek jadinya kalau Saga terus-terusan Mama sembunyiin di rumah."
"Mama nggak sembunyikan! Semua orang tahu anak Mama ada 3."
Chan meletakkan sendok kasar di atas piring. Ia kesal. Kalau sudah menyinggung tentang Mama yang terlalu mengatur hidup Bang Saga, sedangkan Bang Regi pontang-panting sendirian, kuping Chan pengang. Chan sebenarnya juga setuju pada Bang Regi. Namun, ia juga tidak terima Bang Regi menyudutkan Mama Roro yang telah berjuang semaksimal yang beliau bisa demi abang-abangnya.
"Sudah, sudah. Nanti Papa bicara sama Saga."
Pak Agung hanya bisa mengurut dada sabar. Pria berbaju putih tersebut adalah lelaki paling sabar di rumah. Tidak mengatur pun menggertak.
"Nah! Dia itu laki-laki kuat, kan, Pa? Papa percaya kan? Regi yakin Saga nggak selemah yang Mama anggap."
"Tapi—"
Regi mengurut pelipisnya frustasi.
"Mama lihat, kan? Saga cuma butuh dukungan lebih karena kita nggak mampu ada di samping dia 24 jam. Dia nggak cuma sakit fisik! Tapi psikis! Dan kita tepat menikahkan Anin sama Saga. Kita bisa lihat perubahannya! Regi pikir ini udah saatnya Saga ketemu orang! Kemampuannya sia-sia kalau cuma remote dari rumah."
Ucapan Bu Roro yang mau mengatakan jika Sagala masih sering tersiksa, terpotong. Regi tidak tahu bagaimana kesakitan Sagala jika nyeri itu kambuh. Abangnya hanya tahu adiknya menarik diri lantaran malu dan marah pada keadaan.
"Abang Regi ..." Bu Roro memanggil anak sulungnya pelan agar amarah Regi menyurut. "Nanti Mama konsultasi sama dokter lagi. Kalau nggak bisa, Mama—"
Regi menitikkan air mata. Pria kuat itu sampai di titik terlemahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Anin (Tamat)
RomancePria kaya dan sholeh itu stoknya dikit. Kalau enggak gercep, keburu diembat orang. Apalagi yang keturunan old money begini. Mereka tuh hampir semua udah dipatok sama anak kolega demi kelancaran bisnis, mantan Puteri Indonesia, atau wanita karir khar...