Bab 42

1.3K 69 7
                                    

Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat Membaca

Apartement mewah yang beberapa hari lalu tidak tempati, kini kembali disinggahi. Kelima remaja itu duduk diam di ruang tengah. Mereka saling menatap satu sama lain. Kecanggungan menerpa situasi sekarang.

"Gaff, sebenernya Fero itu siapa? Kenapa dia bisa cegah lo saat itu? Dan lo nurut!" keheranan itu menjadi tanda tanya keempat cowok tersebut.

"Beberapa kali juga, gue nggak sengaja liat dia lagaknya aneh." sahut Ciko.

Pertanyaan itu mungkin tidak akan Gaffian balas. Sebab pikiran cowok itu kosong. Tidak bisa dihitung berapa kali cowok dengan rambut mulai gondrong tersebut mengusap kepalanya sedikit gusar.

Reyhan mengerti keadaan ini, Gaffian sedang kacau. Itu kenapa ia mengusulkan ketiga sahabatnya untuk datang ke apartment Gaffian. Reyhan hanya takut sahabatnya itu berbuat nekat.

"Mending kalian main games atau makan aja sana!" titah Reyhan.

Bibed menjentikkan jarinya,"Betul, kita habisin makanan Gaffian, lets go!"

Ciko dan Riko menatap kepergian satu temannya tanpa minat. "PS!" ucap Riko.

Ciko tersenyum miring,"Why not!"  Benar-benar gila game. Melihat ketiga sahabatnya memiliki urusan masing-masing, kini Reyhan menghela nafasnya berat.

"Mau gue bantu, buat ngomong sama Rosa?" tawarnya berharap sahabatnya itu mendengarnya. Tapi sayang, ia diacuhkan.

Pukk

"Gaff!" seru Reyhan sedikit keras.

Tepukan pada bahunya membuat cowok yang melamun tersebut menoleh. "Gak waras lo!" Celetuk Reyhan. Rasanya lelah sekali membuat sahabatnya mengerti.

"Lo bener, Rey. Gue gak waras, sia-sia." terang Gaffian, mendengus miring.

"Gue selalu salah, salah dimata dia. Gue harus ngapain lagi? Hem? Menurut lo, gue harus pakai cara apa lagi?" cecarnya menuntut.

Reyhan tidak bisa berkata-kata, cowok kalem itu hanya bisa menatap iba.

***

Di lain sisi, keadaan Gaffian tidak berbeda dari seorang gadis berambut pendek yang termenung.

"Egois," gumamnya mendesis. Sejak pagi tadi, tidak ada notifikasi masuk dari Gaffian seperti biasanya. Lelaki itu bahkan tidak ia temui di area sekolah. Entah kemana dia.

Pandangannya memburam. Menelan getir kecewa. Orang-orang selalu menatap iri pada dirinya yang dicintai lelaki sehebat itu.

Tapi dirinya yang selalu menilai dari sisi lainnya. Hanya ada keburukan, saja.

"Gaffi," lirihnya.

Tok tok tok

"Rosa, ada Gaffian datang, Nak."

Deg

Seperti sebuah keberuntungan, gadis itu berdiri dengan cepat. Ia mengusap air matanya pelan. "Gaffian, kesini?"

Eka wanita itu tersenyum tipis,"Kamu harus bersyukur di cintai sehebat ini. Maafin dia, Nak. Lembutin hati kamu." Nasehat itu seakan memukulnya.

Tangan wanita itu berada di puncak kepalanya, mengusap-usap pelan. "Ma..." Suaranya terdengar serak.

"Sssttt, jangan nangis."

Tidak ingin membuat cowok itu menunggu lama. Mereka pun memutuskan untuk turun menemui.

Diundakan tangga terakhir. Kaki berlapis piyama panjang tersebut berhenti. Netra hitamnya mengamati Gaffian yang terduduk dengan tatapan mengarah padanya. Mata mereka bersinggungan cukup lama. Hingga akhirnya Rosa lebih dulu memutus kontak.

Sang Mantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang