Bab 4

112 3 1
                                    

Hanum dan Brata tampak gelisah diruang tamu.Hanum yang mundar mandir dari tadi membuat kepala Brata semakin pusing. Hingga ketukan pintu membuat keduanya sedikit lega.

"Amora." ucap Hanum yang melihat putrinya pulang setelah membukakan pintu. Dengan cepat ia memeluk putrinya itu.

Disisi lain Brata menatap Pak Djarot dengan tatapan tajam. "Kamu, ikut saya." ujar Brata dengan penuh penekan. Keduanya pun keluar rumah.

"Amora, lain kali gak boleh kayak gini lagi ya, mama khawatir tau."ucap Hanum yang sudah tau semuanya dari Pak Djarot saat dirinya menelepon.

Tak ada jawaban dari Hera, hingga Hanum melepas pelukannya. Ia kaget saat melepas pelukannya, tak seperti biasa putrinya seperti ini "Nak, kamu kenapa nangis? "
Hera hanya menggeleng sebagai jawaban. "Hiks... hiks... hiks. " Ia masih saja menangis, membuat Hanum semakin cemas, ditambah tangan putrinya bergetar.

"Hey, kenapa, ra? " tanya Hanum lembut.

Hera masih saja menggeleng.Hanum pun memeluk putrinya berharap putrinya bisa tenang.

"Ma, aku hampir saja membunuh putri tercintamu. " Batin Hera dalam tangisnya.

Flasback on

"Pa, Hera besok pengen kuliah di Kedokteran. " ucap Hera pada Brata yang sedang duduk disampingnya.

Brata yang mendengar hal itu langsung menatap Hera. "Hera, kalau kau kuliah dikedokteran, papa takut Amora tak kebagian biaya kuliah karena kuliahmu yang mahal itu. "

Brata menghela nafasnya sejenak. "Jadi, kuliahlah dijurusan yang tidak mahal oke. "

"Kalau kak Amora ingin kuliah dikedokteran bagaimana?" tanya Hera, yang membuat Brata mengurungkan niatnya untuk beranjak dari tempat duduk.

"Amora adalah segalanya buat papa, jadi papa akan usahakan untuk Amora. "

"Aku? "

"Kamu Khiandra Hera Agnibrata, putri kesayangan papa." ucap Brata sembari mencium keningnya.

"Aku kesayangan papa, kak Amora segalanya untuk papa? " tanya Hera yang hanya dijawab senyum lebar oleh papanya.

Flasback off

"Mama anter ke kamar ya, kamu harus istirahat. "

Hera mengangguk sebagai jawaban.

Sesampainya dikamar,Hanum mencium kening putrinya dan menyelemuti tubuhnya. "Selamat malam sayang. " ucapnya lalu keluar kamar.

"Malam juga ma, aku harap esok akan ada kabar gembira."Gumam Hera.

***

Pukul 04.00 WIB Hera sudah terbangun, ia segera mandi setelahnya menatap cermin dengan pakaian yang sudah ia siapkan tadi malam. "Tak biasanya aku semangat untuk menyambut esok, biasanya aku hanya bisa menangis. "

Hera menghela nafas pelan, lalu ia beranjak dari tempat duduknya untuk keluar dari kamar.

Ia menuju dapur mendekati Hanum yang seperti biasa sudah memasak dijam empat ini. "Mama." Panggilnya, sembari memeluk Hanum.

"Amora, tumben sudah bangun? " tanya Hanum yang sedikit terkejut dengan kedatangan putrinya.

Hera, tak menjawab pertanyaan Hanum ia hanya tersenyum kecil.

"Sudah selesai ma, masaknya?" tanya nya saat melihat makanan sudah tersaji dipiring.

Hanum tersenyum, "Sudah dong, tinggal disajikan dimeja makan. "

"Tumben sudah selesai?"

Hanum menghentikan langkahnya sejenak saat mendengar pertanyaan putrinya. Setelahnya melanjutkan kembali langkahnya.

Hera yang tak mendapatkan jawaban mengikuti Hanum dari belakang sambil membawa semangkuk sup untuk dibawa ke meja makan.

Hanum mendudukkan bokongnya diikuti dengan Hera.

Hanum tampak menghela napas sebelum ia berbicara. "Tadi jam dua pagi mama mendapat kabar kalau Hera kejang-kejang, maka dari itu mama sudah terbangun dari jam 3 pagi tadi."

"Hera kejang-kejang?"
"Gimana keadaannya sekarang ma?"
"Hera baik-baik aja kan?"
Tanya nya berurutan.

"Mama, gak tau. "

"Maksud mama?"

"Mama gak ke rumah sakit tadi, hanya papamu yang kerumah sakit lihat kondisi Hera."

Dadanya kini merasa sesak, pikiran menjadi Amora yang ia pikirkan akan bahagia, ternyata hanya menambah lukanya saja. "Hera juga anak kandung mama." ucapnya lirih.

"Mama tau, mama tau. Tapi mama...merasa tak pantas menjadi mamanya. Banyak hal yang tak bisa mama terima sampai saat ini. "

Tak terasa air mata Hera tiba-tiba mengalir bebas dipipinya. Hanum yang melihatnya segera memeluknya. "Mama paham perasaan kamu saat ini, kamu sedihkan mama seperti tak peduli dengan Hera, tapi kamu juga harus mengerti perasaan mama nak,... bagi mama....putri mama cuma satu, Khiandra Namora Agnibrata."

Dada Hera semakin sesak saat mendengar kalimat terakhir,baginya itu adalah kalimat paling menyakitkan selama hidupnya. "Hiks... hiks... hiks...." Kini tangis Hera semakin deras, tak ada yang bisa mengerti perasaannya saat ini, hanya dirinya seoranglah yang paham akan perasaan sakit yang selama ini ia pendam.

Hera perlahan melepas pelukannya, ia menatap Hanum sejenak, lalu berlari menuju kamar tidurnya.

"Amora." Panggil Hanum berkali-kali, tapi tak digubris.

Hera dengan cepat mengunci pintu kamar tidurnya, ia mendudukkan dirinya tepat didepan pintu.

"Tok... tok... tok... "
"Amora, buka pintunnya dong, mama khawatir kalau kamu kayak gini nak." ucap Hanum yang terus mengetuk pintu kamar Amora.

"Maaa, dadaku sa...kit, sakit banget ma." ucap Hera disela isak tangisnya.

"Dada mu sakit, kalau gitu mama panggilin dokter ya, biar diobatin."

"Percuma ma sakit ini tak kan bisa disembuhkan sampai kapanpun, walaupun diobati berkali-kali akan tetap sama saja." Batin nya.

Hera menarik nafasnya berkali-kali, mencoba menenangkan diri. "Gak usah ma, aku baik-baik aja, Amora hanya perlu istirahat."

"Kamu yakin nak? "

"Yakin ma, mama pergi aja, aku mau menenangkan diri." pinta nya yang langsung dituruti Hanum.

Kini Hera duduk dimeja rias kakaknya, ia mengusap air matanya sembari menatap cermin didepannya. "Bukankah aku tak perlu sedih, aku sudah jadi Amora bukan?."
"Harusnya aku senang,walau luka seorang Hera masih tertinggal disini." Monolog Hera sambil memegang dadanya.

"Berhasil tidaknya menjadi Amora sepenuhnya, tergantung diriku sendiri kan? "
"Aku harus meninggalkan sosok Hera, agar aku bisa mendapatkan sosok Amora sepenuhnya." Senyum Hera kini terukir dibibirnya.

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang