Bab 30

28 0 0
                                    

"Hmmm...hiks...hiks..." Hera semakin menutup rapat mulutnya. Namun sayang tangan hanum lebih kuat, sehingga mulut Hera terbuka lebar dengan paksa.

Dengan cepat Hanum mengambil sikat disampingnya, lalu menggosokan sikat itu pada lidah Hera.

Hera hanya bisa menahan rasa perih di lidahnya, karena Hanum menyikatnya tanpa perasaan. "Aaaaa." teriak Hera saat goresan sikat terakhir lebih kencang dari sebelumnya.

Hanum melemparnya sikat itu kesamping kanannya.

"Karena kesalahan mu ini jangan harap kamu bisa merasakan masakan mama lagi." ucap Hanum dengan tegas.

Hera hanya bisa menatap Hanum yang pergi menjauh, tak ada satu kata pun yang dapat ia keluarkan. Rasa sakit dilidahnya, membuat mulutnya membeku seketika.

Dengan perlahan ia berdiri didepan kaca. Membuka mulut untuk melihat keadaan lidahnya. Goresan berwarna merah pekat menghiasi lidah milik Hera. Ia menghela napas kasar, memikirkan lomba debat yang akan dilaksanakan besok. Bagaimana bisa ia berdebat dengan keadaan lidahnya sekarang?

Hera mulai mengacak-acak rambutnya, frustasi.

Flashback off

"Sampai." ucap Brata, saat mobilnya sudah berada didepan gerbang sekolah.

"Makasih pa." ucap Hera dengan riangnya.

Brata terdiam sejenak, merasa aneh dengan tingkah putri nya ini. "Makasih?"

Hera mengangguk, "Aku sayang papa." ujar Hera yang langsung memeluk Brata.

Brata mencium kening putrinya itu. "Papa juga sayang kamu, nak."

"Sana turun, keburu telat nanti."

Mulut Hera seketika monyong, ia melepas pelukan Brata dengan terpaksa. Rasanya belum puas ia memeluk sang papa. "Yaudah, berangkat dulu ya pa." ucapnya sembari mencium punggung tangan Brata.

"Iya."

Setelah Hera keluar mobil, Amora mengulurkan tangannya, menyalami Brata. "Berangkat dulu pa." ucap Amora lalu keluar mobil.

Amora menatap Hera yang berlari dengan senang seperti anak kecil. "Huft." Menghela napas, menyiapkan diri untuk hari yang berbeda kali ini.

Amora menundukkan kepala,menatap sepasang sepatu dikakinya. Hingga sepasang sepatu didepan kakinya, membuat Amora menghentikan langkah.

Ia menegakkan kepala kembali, untuk melihat siapa pemilik sepasang sepatu dihadapan nya. "Elo." ucap Amora, saat mengetahui pemilik sepatu tersebut.

Senyum kini terukir diwajah Rakhan. "Ayok masuk." ajaknya, kemudian menggandeng tangan Amora.

"Disini tempat duduk loe." Bisik Rakhan ketika sampai dikelas.

Amora pun mendudukkan bokongnya dikursi yang Rakhan tunjuk. Sedangkan Rakhan duduk tepat di depannya.

"Itu Dinta, orang yang selalu bully Hera." bisik Rakhan lagi.

"Hera dibully?."

Rakhan mengangguk, setelahnya Amora mulai terlihat kesal dengan wanita bernama Dinta itu.

"Jadi, lebih baik loe jaga jarak sama Dinta, takutnya loe bakal dibully sama dia."

Seperti nya omongan Rakhan tak digubris, Amora malah tersenyum licik, seperti sedang merencanakan sesuatu.

Hingga suatu hal merubah ekspresi nya seketika. "Gue lupa rak."

"Lupa apa?"

"Gue belum kasih tau Hera."

Dahi Rakhan mengernyit. "Soal?"

***

Disisi lain Hera yang sudah memasuki kelas, tampak kebingungan. Ia mencari tempat duduk yang biasa Amora singgahi.

"Bestiii." teriak seseorang yang langsung memeluk Hera dengan kencang.

"Woyy, lepasin, aku gak bisa napas."

Yesi seketika langsung melepas pelukannya, saat mendengar kata 'aku' keluar dari mulut sahabat nya itu. "Aku?"

"Gu.. e." jawab Hera meralatnya.

"Ooo." ucap Yesi sambil menghela lega.

"Eh, loe udah sehat total kan?"

"Menurut loe?" ujar Hera yang berusaha membiasakan diri dengan kata gue loe.

Yesi menatap Hera dari atas ke bawah, memutari tubuh sahabat nya itu, memastikan tak ada luka sedikitpun. "Sehat sekali anda." ujarnya.

Hera hanya bisa menggaruk kepala, mendengar perkataan Yesi.

"Ayok kita duduk." ajak Yesi, sembari menarik tangan Hera.

Keduanya kini duduk sejajar, Yesi mengeluarkan sapu tangan yang selalu ia bawa.

Hal itu tentu membuat Hera bingung,dengan apa yang akan dilakukan Yesi. "Ngapain?"

"Seperti biasa."

Hera hanya bisa diam, melihat apa yang akan dilakukan Yesi. Yesi dengan pelannya meniup meja mereka, lalu mengusapnya dengan tangan.

"Setiap hari, loe kayak gini?" tanya Hera, heran.

Dahi Yesi seketika mengernyit, ia memegang dahi Hera seolah mengecek suhu tubuh. "Loe sehat?"
"Gue kan, setiap hari kayak gini."
"Jangan-jangan..."

Hera mengigit bibir bawahnya, jantungnya berdetak kencang. Penasaran, dengan apa kata yang akan diucapkan Yesi selanjutnya. Apa kali ini, ia akan ketahuan kalau dirinya bukan Amora?.

"Loe hilang ingatan."

Hera menghela lega. "Iya, aku... eemm maksudnya gue, agak sedikit kehilangan memori gara-gara jatuh didanau."

"Haaaahhh."
"Air danau bisa buat orang hilang ingatan?"

Hera terdiam mencerna ucapan Yesi, yang bagi jebakan untuknya. "Batu, iya batu."

Mata Yesi menyipit, ia menatap Hera dengan bingung.

"Kepala."
"Kepala gue kesandung batu." jelasnya, berharap Yesi percaya.

Yesi berdiri, memengang kepala Hera, memutarnya kanan kiri. Mencari luka karena batu yang di maksud Hera. "Gak ada." ucap Yesi, lalu terduduk.

Hening seketika, tak ada suara dari keduanya.

"Waktu gue jenguk loe dirumah sakit, kepala loe gak papa." Yesi membuka suara.

"Luka."

Yesi menatap Hera lagi, saat kata luka diucapkan.

"Luka dalam." lanjut Hera.

"Ooooo, paham paham."
"Berarti banyak memori yang hilang, gara-gara luka dalam ya?"

"Iya."

"Tenang aja, gue bakal bantu loe ngembaliin memori loe."

Hera mengangguk, akhirnya ia bisa bernafas lega.

"Dritttt." Hp Hera berbunyi. Ia membuka hp nya, ternyata ada pesan dari saudara kembarnya. Dengan malas ia membuka pesan tersebut.

"Turutin apa yang yesi mau! Jangan bantah dia sedikitpun, jika membantah loe bisa dalam bahaya."

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang