Bab 21

43 1 0
                                    

"Kamu tahu?"
"mama kecewa sama kamu." ucap Hanum pada Hera, yang berada dihadapannya.

Keduanya saat ini terduduk di kursi yang saling berhadapan.

Hera berusaha menelan ludahnya, ia tak berani menatap Hanum. "Aku pikir, mama bakal bangga sama aku." tutur Hera lirih.

"Blakkk." Hanum meletakkan rapot dengan keras di atas meja.

"Ini yang kamu maksud bangga?"
"Ini bukan kebanggaan, tapi lebih ke malu-maluin." tunjuk Hanum pada sebuah buku, yang memperlihatkan tulisan peringkat 40 dari 40 siswa.

"Tapi kan mama juga gak suka kalau aku peringkat satu, kenapa sekarang marah?" ujar Hera yang masih menundukkan kepala.

Hanum menghela napas kasar. "Tapi gak gini juga ra, setidaknya peringkat nya dibawah kakak kamu, ini kenapa bisa peringkat terakhir?"
"Malu-maluin tahu gak?"
"Mau ditaruh mana muka mama?"
"Kamu itu belajar gak sih, niat gak sih sekolah?"
"Oke gini aja, kalau kamu gak niat sekolah, yaudah gak usah sekolah aja sekalian." oceh Hanum yang tak henti-henti.

Hera menarik napas panjang, berusaha menahan emosi yang sudah memuncak daritadi. "Aku udah berusaha ma, aku udah belajar mati-matian, tapi tetep aja gak masuk diotak Hera."

"Ck, Kamunya aja yang gak mau berusaha." ucap Hanum dengan nada meremehkan.

"Aku udah berusaha ma, mama lupa ya,mama pikun?"
"Aku kayak gini, gara-gara mama." ucap Hera disertai penekanan disetiap kalimat.

"Berani kamu nyalahin mama, berani kamu bentak mama?" jawab Hanum tak kalah emosi.

"Aku gak bermaksud bentak mama, aku cuma mau ingetin mama."
"Sebuah fakta bahwa, dorongan mama waktu itu membuat otak aku cedera."
"Membuat ingatan aku lemah maaa, membuat anakmu ini b*doh."
"Hera b*doh mama, Hera b*dohh."

"Plakkk." sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi kiri Hera. Seketika air matanya turun tanpa aba-aba. Hera semakin menundukkan kepala.

"Kamu jangan pernah nyalahin mama, ini takdir yang harus kamu terima." ucap Hanum tanpa rasa bersalah.

"Banyak kekurangan yang mama harus terima dari kamu, harusnya kamu bersyukur punya sosok mama yang masih mau menampung kamu dirumah ini." lanjut Hanum.

Hanum tersenyum puas, merasa menang saat melihat putrinya hanya terdiam membeku, mendengarkan ucapannya.

"Kemari." Hanum beranjak dari duduknya, lalu menarik pelan tangan Hera, mengajaknya ke sudut ruangan.

Hanum membuka gorden jendela berwarna coklat dengan tinggi tiga meter didepannya. "Lihat itu." pinta Hanum, yang mengarahkan kepala Hera ke suatu objek.

"Itu anj*ng punya Bu Kety, gak pernah dilepas, selalu diikat dengan rantai, anjing itu gak sebebas kamu, yang masih bisa pergi kemana-mana."
"Harusnya kamu bersyukur, hidupmu lebih enak daripada anj*ng itu."
"Kamu paham kan maksud mama?" jelas Hanum panjang lebar, diakhiri dengan pertanyaan.

Tak ada jawaban dari Hera, ia hanya terdiam dengan air mata yang mengalir tanpa suara.

"Gak ada jawaban, berarti kamu belum paham maksud mama."
"Kalau begitu, mama akan ajarkan kamu, bagaimana caranya bersyukur."

"Mau kemana ma?"

Hanum tak menjawab pertanyaan Hera. Ia terus menarik tangan Hera sampai dibelakang rumah.

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang