Bab 15

53 0 0
                                    

"Sepeduli itu ya rak sama aku, tapi bodohnya aku lepasin kamu cuma demi jadi Amora."

"Maksudnya ucapan kamu apa, ra? Hera tampak terkejut mendengarnya, itu suara Hanum yang entah bagaimana tiba-tiba saja berada tepat dibelakang Hera.

"Mama." ucap Hera yang masih terkejut.

"Maksud ucapan kamu barusan apa, nak?" Hanum bertanya ulang.

"Amora gak ngomong apa-apa ,ma."

"Tapi mama tadi denger lho, kamu ngomong." ucap Hanum, yang sangat yakin dengan apa yang didengarnya barusan.

Hera masih berusaha mengelak. "Enggak kok ma, aku gak ada ngomong apa-apa tadi."

"Yaudah, mungkin mama emang salah denger tadi."

"Itu, apa ma?" tanya nya saat melihat setumpuk buku ditangan Hanum.

Hanum meletakkan buku itu di meja belajar samping. Hanum menepuk buku itu pelan, sembari menjelaskan untuk apa buku tersebut. "Ini buku pelajaran yang harus kamu baca."

Hera melongo melihat tumpukan buku tersebut. "Belajar untuk satu semester,sebanyak itu?"
"Ayolah ma, ini cuma uas bukan olimpiade lho."

Hanum mengernyitkan dahinya. "Kenapa kamu kayak syok gitu, lihat setumpuk buku ini?"
"Bukannya kamu sudah terbiasa ya ra, belajar sebanyak ini?"

"Hah, ternyata Kak Amora belajar nya banyak banget, pantes pinter."
"Aku harus cari alasan nih, agar mama gak curiga." Batin Hera.

"Iya ma, aku emang terbiasa belajar banyak banget gini, tapi kan Amora habis sakit ma, masak tetep belajar sebanyak ini?"

Hanum menarik napas pelan, menatap putrinya dalam. "Gak ada alasan buat gak belajar, ra."
"Justru kalau kamu gak belajar kamu bakal tertinggal banyak." lanjut Hanum.

Hanum merangkul putrinya. "Kamu kebanggaan, dan harapan mama satu-satunya, jadi tolong jangan kecewain mama ya, dan tolong pertahanin peringkat kamu."

Lidah Hera terasa kaku, tak ada jawaban yang bisa ia berikan kecuali mengangguk. "Jadi selama ini, mama gak pernah bangga punya Hera?"
"Mama gak punya harapan buat Hera?"
"Ternyata lebih sakit jadi Amora, yang harus tau semua kebencian mama ke aku, tanpa mama tau aku ini Hera bukan Amora." Batin Hera.

"Yaudah, kamu belajar dulu ya, mama mau pergi bentar."

"Ya, ma."
Hanum pun pergi meninggalkan ruangan. Sedangkan Hera duduk terpaku, menatap tumpukan buku didepannya.

Disisi lain, Rakhan terus menggenggam tangan Amora menuntunnya sampai didepan rumah. "Loe denger gak?" tanya Amora yang tiba-tiba menghentikan langkah nya.

"Tok tok tok tok." Terdengar suara yang membuat Rakhan melihat ke sumber suara.

"Itu apaan?"

"Itu siomay, loe mau?"

"Sebenernya gue pengen siomay sih, tapi malu juga kalau minta dibeliin cowok ini, kan gue gak pegang uang." batin Amora.
"Enggak." jawabnya

"Yaudah gue beliin." ucap Rakhan yang bergegas menghampiri penjual tersebut.

Amora membuka mulutnya tidak menyangka dengan jawaban Rakhan. "Hehh, gue bilang gak mau ya, kenapa dibeliin sih." Teriak nya.

Rakhan tersenyum mendengar teriakan tersebut. "Pak beli satu porsi ya, pakai piring aja."

Setelah selesai Rakhan menghampiri Amora, lalu mendudukannya di teras rumah. "Buka mulut loe!"

Amora mulai membuka mulutnya."Aaaaa."

Satu suapan siomay berhasil masuk ke mulut Amora. "Enak?"

"Enak." jawab Amora sembari menganggukkan kepala.

"Buka mulutnya lagi." Pinta Rakhan.

Amora tampak nenikmati siomay yang ia makan. Sedangkan Rakhan dengan sabar menyuapi Amora, yang tampak sangat manja, beda dengan Chubby yang ia kenal selama ini. "Udah habis, gue kembaliin dulu piringnya, loe tunggu disini bentar."

Rakhan pun mengembalikan piring tersebut, lalu kembali mendudukan bokongnya disamping Amora.

"Loe sebenernya siapa sih?"
"Kenapa peduli banget sama gue?" tanya Amora to the point.

Rakhan mengernyitkan dahinya, bingung dengan apa yang diucapkan Amora barusan. "Gue sahabat loe lah, orang yang selalu ada buat loe."
"Loe lupa?"

"Tapi, gue gak punya sahabat cowok." ucap Amora datar.

Rakhan yang mulai kesal,memegang pundak Amora."Jadi selama ini loe anggap gue apa, ra?"
"Semua kebahagiaan, ketenangan, sandaran yang gue kasih , loe anggep sebagai, apa ha?"
"Gue tau loe gak bisa nerima takdir loe, tapi setidaknya loe nerima keberadaan gue." ujar Rakhan berutun.

Amora hanya terpaku mendengarnya, ia berusaha mencerna perkataan Rakhan, tapi tak bisa.

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang