Bab 47

21 0 0
                                    

"Anj*ng...." teriaknya, yang sontak membuat Hera kaget. Terlebih sorot mata Yesi yang tiba-tiba berubah, sorot mata yang tidak seperti biasanya, sorot mata yang begitu dalam menatapnya.

"Yes... loe gak papa?"

"Gak ada satu orang pun, yang bisa membantah gue. gakkkk ada...." Teriak Yesi pada kalimat terakhir. Telapak tangannya ia genggam erat mencari sesuatu disekitar lapangan yang bisa ia jadikan senjata.

Senyumnya kini melebar ketika mendapati batu seukuran telapak tangan berada disudut lapangan. Ia segera mengambilnya dengan perasaan gembira seperti mendapat hadiah.

Langkah Hera mundur kebelakang, perasaan tidak enaknya muncul, saat melihat tingkah Yesi yang berubah drastis. "Yes...?" ucapnya, saat melihat Yesi mendekat dengan batu ditangannya.

"Brughhh..."
"Akhhhakhh..."

"Tepat sasaran." monolog Yesi, ketika Hera terjatuh kesakitan,saat batu yang ia lempar mengenai jidat kiri Hera.

"Akhhh... yes... sa...kit..." Yesi semakin menggila, tak cukup dengan lemparan batu, ia masih saja menyerang Hera dengan mencekam lehernya sekuat tenaga.

"Berhenti-berhenti kalian!"
"Apa-apaan ini?"

"Wihh, asik tuh berantemnya."
"Kira-kira siapa ya, yang menang?"
"Fix Yesi yang menang."
"Ehh, itu dipisahin dong, kasian!"
"Harus ada ronde duanya sih ini."
"Aku mau bantu misahin, tapikan aku cowok, bukan muhrim."

Suara kebisingan mulai memasuki telinga Hera, tampaknya semua orang berkumpul melihat kericuhan ini.

"Sudah-sudah...!" ucap salah satu guru yang masih berusaha memisahkan keduanya, bersama dengan beberapa siswa lainnya.

"Lepasin-lepasin gue..." teriak Yesi yang kini sudah berhasil mereka ringkus.

Sementara Hera berusaha bernapas kembali setelah sekian menit napasnya terhenti.

"Yesi, kamu kenapa?"
"Kalian kenapa berantem?"

"Lepasin...gue harus hancurin orang yang berani membantah...lepasin...!"

Suasananya yang semakin ricuh, membuat guru yang menahan Yesi memasukan nya ke dalam kelas. Sedangkan Hera yang masih terbujur diatas lapangan hanya terdiam, menutup matanya menahan sakit.

"Ya Allah, kasian banget."
"Udah ada yang manggil ambulan belum?"
"Aduh, kasian, cantik-cantik kena batu."

Semua ucapan yang masuk ditelinga Hera, membuatnya semakin tak tenang. Rasa malu yang tak ingin ia rasakan, serta dikasihani banyak orang yang tak ingin ia dapatkan, kini ia harus menghadapi keduanya secara bersamaan.

"Herr... her loe gakpapa?"
"Sabar ya, bentar lagi ambulan nya datang." sebuah ucapan yang membuatnya tenang, sebuah suara yang ia rindukan, siapa lagi kalau bukan Rakhana Awan Dikara Adwaja.

***

Sejam kemudian, Hera sudah berada di rumah sakit.

Hera mulai membuka matanya, terlihat jelas infus menancap ditangan kirinya. Mulanya ia terdiam diatas nakas, mengistirahatkan raganya yang begitu lemas. Namun sebuah suara ricuh diluar ruangan, membuat Hera penasaran tak karuan.

Kini ia berusaha bangun, melangkahkan kaki keluar. Belum juga sampai didepan pintu.
"Klekkk." Pintu itu terbuka dari luar.

Terlihat jelas sosok Amora memasuki ruangan, disusul Rakhan dari belakang dengan wajah cemasnya.

"Kak..." panggilnya dengan suara lembut.

"Plakkk." namun sebuah tamparan kasar, menyentuh pipinya.

"Mor...." teriak Rakhan, yang spontan menghampiri Hera, mengelus pipinya, berharap rasa sakitnya dapat berkurang.

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang