Bab 17

39 0 0
                                    

"Aku gak lakuin apapun kak." jawab Hera.

"Lalu mengapa, semua orang menganggap gue sebagai Hera?" tanya Amora, yang nampaknya sudah curiga.

Hera menarik napas panjang, mencoba memikirkan ucapan apa yang pas, agar Amora tidak curiga lagi. "Semua orang?"
"Bukannya cuma mama papa?"

"Semua ra, tidak hanya mama papa. Bahkan laki-laki itu juga menganggap gue itu loe."

Hera hanya terdiam mendengarnya, ia sudah tak memiliki alasan lain untuk menyakinkan kembarannya.

"Laki-laki itu, sahabat loe kan?" lanjut Amora.

Hera mati-matian menelan ludahnya. "Iya."

"Sepeduli itu dia sama gue?"

Hera mengerak-gerakkan jarinya, memikirkan alasan yang masuk akal. "Aku yang minta dia buat jagain kamu, kak." finalnya.

"Loe gak bisa ya jagain gue, sampai harus nyuruh orang lain?" tanya Amora disertai wajah kecewanya.

Hera menghembuskan napas kasar. "Sebelum aku jawab, aku mau tanya sama kakak."
"Emang kakak pernah ya jagain aku?"

"Gak usah mengalihkan topik pembicaraan, ra." ujar Amora yang mulai geram.

Hera terkekeh mendengarnya. "Ya gimana ya kak, pertanyaan mu aneh, bagaimana bisa seorang kakak yang gak pernah jagain adeknya, bertanya kenapa adeknya gak jagain dia?"

"Loe lupa?"
"Gue dulu selalu jagain loe."

Hera berdiri, menatap Amora tajam. "Dulu waktu kita masih kecil kan?"
"Dulu waktu mama masih sayang sama aku."
"Saat itu aku gak butuh kak, aku butuhnya saat mama benci sama aku."
"Tapi apa?"
"Disaat itu kamu gak pernah ada, Kak Amora hanya bisa diam." bentak Hera tak henti-henti.

"Ra, gue..."

"Tek... tek... tek..." Suara langkah kaki membuat Amora tak bertanya lebih banyak lagi, karena ia tahu saudaranya pergi meninggalkan ruangan. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menghela napas panjang. Ia hanya meratapi kembalinya sepi, bersamaan dengan banyak pertanyaan diotaknya mengenai sikap Hera yang aneh.

Disisi lain Hera terduduk di sofa, sembari mengingat betapa sakitnya dulu. Baginya tak adil jika saudara kembarnya tak merasakan apa yang ia rasakan dulu. Sebuah bentakan, cacian, makian yang selalu menyambutnya dirumah ini, belum bisa ia lupakan. Terlebih Amora hanya terdiam, tak membela, tak menguatkan, ataupun melindungi dirinya. Hal yang harusnya ia dapatkan dari sosok kakak, tak pernah ia dapatkan.

***

"Ahhhh, bodoh bodoh bodoh." gerutu Rakhan yang merutuki dirinya sendiri. Kali ini ia merasa begitu egois. Kemarahannya waktu itu, dan menghindar dari sahabatnya adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan.

"Harusnya gue nemenin dia di saat-saat kayak gini, bukan malah marahin dia, apalagi ngejauh dari dia."
"Chubby pasti butuh gue saat ini." gumam Rakhan beruntun.

"Gue harus kesana sekarang." ucapnya lagi, lalu dengan sigap ia mengambil kunci motor.

Ia mulai mengenderai motor dengan kecepatan tinggi. Yang membuat Rakhan menyelip beberapa pengendara yang lain. Beribu umpatan dari pengendara lain tak membuat Rakhan menurunkan kecepatannya. Yang ada dipikirannya sekarang, ia harus segera sampai ke rumah Chubby, memastikan dia baik-baik saja, sekaligus meminta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu.

"Jadi selama ini loe anggap gue apa, ra?"
"Semua kebahagiaan, ketenangan, sandaran yang gue kasih , loe anggep sebagai, apa ha?"
"Gue tau loe gak bisa nerima takdir loe, tapi setidaknya loe nerima keberadaan gue."

Ucapannya kepada Chubby tergiang-giang dikepala, membuat Rakhan semakin menambah kecepatannya. "Gue janji Chubby, gue gak akan lakuin kesalahan yang sama, gue janji gak akan membuat loe kecewa lagi, gue juga janji akan selalu menemani loe sampai kapanpun." Batin Rakhan dengan janji yang ia ucapkan.

Rakhan terus mengendarai motornya dengan perasaan gundah. Hingga sebuah lampu lalu lintas menunjukan warna kuning, tak membuatnya berhenti. Karena yang ada dipikirannya sekarang adalah segera sampai di rumah chubby bagaimanapun caranya.

Tapi sayang, empat detik kemudian, lampu lalu lintas berganti warna merah.

"Brakkk."







Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang