Kini Hera menuju ruang makan, ia tersenyum saat melihat Hanum dan Brata sudah menunggunya disana.
"Pagi ma, pa. "
"Pagi juga. " jawab keduanya bersamaan.
"Sudah membaik?" bisik Hanum di telinga Hera.
Hera tersenyum. "Sudah ma."
"Hmm." Brata berdeham melihat kedua nya tengah membicarakan sesuatu yang ia tak tahu. "Ayok kita makan." ajaknya.
Keduanya mengangguk sebagai jawaban. Kini mereka sedang menikmati makanan yang ada, hingga perkataan Brata membuat Hanum menghentikan aktivitas makannya. "Hera kritis."
Hanum tampak menarik nafasnya. Ia tiba-tiba saja mengambil sayur bayam disampingnya."Nih aku tambahin sayurannya mas, biar tambah sehat."
"Sayang, Hera kritis." ucap Brata lagi dengan nada yang lebih keras.
"Kamu juga harus tambah sayurannya, kamu kan habis sakit, jadi harus makan yang banyak." ucap Hanum, mengalihkan pembicaraan.
"Hera overdosis obat,... obat tidur, entah bagaimana bisa dia menelan obat tidur."
"Siapa yang peduli, mas." ucap Hanum tanpa memandang suaminya.
"Bagaimanapun juga Hera anak kandungmu."
"Dia bukan anak ku lagi,mas." Lirih Hanum.
"Bagaimana pun juga hubungan darah tidak akan terputus, darahmu mengalir ditubuh Hera." Brata melantangkan suaranya.
"Tapi nyatanya aku bisa,memutus hubungan darah itu." jawab Hanum yang tanpa sadar meneteskan air mata.
Hera yang tak sanggup lagi mendengarkan pertengkaran keduanya, memilih pergi dari ruang makan. "Aku udah kenyang."
"Amora." panggil Hanum yang terlihat khawatir.
Tapi Hera tak menghilaukannya, ia tetap berjalan menuju kamar milik Amora. Sesampainya disana, Hera merebahkan tubuhnya dikasur, ia menangis sejadi-jadinya. Tak ada yang bisa ia pikirkan saat ini, ia hanya terfokus pada rasa sakitnya yang semakin menjadi. Perkataan mamanya barusan mampu memporak polandakan perasaan nya, ia kembali mengingat masa lalu yang masih sangat membekas dihatinya.
Flashback on
"Kenapa kamu tidak mati saja, kenapa?" ucap Hanum dengan nada tinggi dikata terakhir. Ia terus mencambuk Hera menggunakan sabuk besi, dengan amarah yang kian memuncak.
"Ma, sa... kit sa.. kit." regek nya yang tak digubris Hanum sama sekali.
"Hufh." Setelah dirasa puas, Hanum menghentikan cambukan itu. Setelahnya ia mendekati wajah putrinya dengan seksama.
"Dengarkan mama baik-baik. Atas kesalahan mu ini,mama pastikan kau tak kan bahagia selama darah mama, masih mengalir ditubuh mu. Karna aku tidak mengizinkan setetes darahku ada di tubuh mu. Kamu ingat itu." ucap Hanum lalu meninggalkan Hera diruangan sendirian.
"Hiks... hiks... hiks. " Hera menangis begitu keras, bukan karna luka dipunggungnya tapi luka dihatinya yang diciptakan mamanya sendiri.
Dengan hati-hati Hera berdiri, ia berjalan sangat pelan menuju kamarnya. Tangisannya yang tak berhenti, menemani nya dalam setiap langkah.
Sesampainya dikamar, ia merebahkan tubuhnya dalam posisi tengkurap, karena luka dipunggungnya tak memungkinkan ia tidur dalam posisi telentang.
Tak ada yang bisa Hera lakukan kecuali menangis. Dari dini hari sampai malam Ia masih saja menangis. "Mama tak mengizinkan darahnya mengalir ditubuhku, aku tak kan bahagia, aku tak kan bahagia." Hera terus mengucapkan kalimat tersebut berkali-kali.
Ia pun bangun dari tempat tidurnya. "Sial... sial... sial. " ucap Hera sembari membenturkan kepalanya di tembok.
"Pyarr." Setelah itu Hera membanting nakas disamping kasurnya, bersamaan dengan itu dia terjatuh dilantai. Terdapat pecahan gelas yang berserakan.
"Mama bilang aku tak akan bahagia jika darah mama masih mengalir ditubuhku bukan?"
"Artinya aku harus mengeluarkan darah ini agar aku bisa bahagia." ucap Hera saat melihat pecahan gelas didepannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Untukmu
Teen FictionAmora dan Hera adalah saudara kembar tak identik. Walaupun kembar nasib kedua nya berbeda, Amora dengan segudang kasih sayang dan belaian lembut kedua orangtuanya, sedangkan Hera dengan sebuah tamparan kasar yang ia terima sehari-hari. Hingga sebua...