Suara langkah kaki terdengar mulai menjauh, dengan sigap Amora meraba nakas tersebut. Akhirnya sepiring nasi berhasil ia gapai. Ia berusaha memakannya walau tangis masih menguasai, itu semua demi mengapai terang dalam gelapnya.
Selain kegelapan yang ia rasakan, sunyi mulai menghampiri. Seperti orang tuli yang tak mendengar apa-apa, kecuali suara langkah yang selalu datang, setiap kali menyediakan sepiring makanan beserta obat yang harus ia minum. Entah siapa orang itu, Amora tak tahu.
Rakhan?
Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, laki-laki itu tak pernah datang menemui Amora. Mungkin rasa kecewanya begitu besar."Sepi." Keluhnya pada dirinya sendiri.
"Sepi, itu sebuah fase yang aku lalui dulu." Batin Hera, yang diam-diam mengawasi saudaranya dari balik pintu.
Flasback on
Hera yang baru saja pulang, membuka pintu rumah yang tampak sepi itu. Pintu pun terbuka lebar, bersamaan rasa takjub saat melihat isi didalamnya. Beberapa balon warna-warni, tirai rumbai, dan beberapa hiasan lainnya turut menghiasai rumah itu.
Sebuah perayaan mungkin akan terjadi disini. Hera mengecak tanggal di handphone nya, "27 Desember, itukan hari ulang tahun ku." ucap Hera sumringah.
Hera semakin cepat melangkahkah kakinya, sembari memanggil kedua orangtuanya. "Maa, paa."
Sebuah senyuman terukir dibibir Hera. "Hari ulang tahun yang tak pernah dirayakan,apa kali ini akan dirayakan?" tanya Hera dalam hati.
"Maaa."
"Paa." Ia semakin keras memanggil kedua orangtuanya, tapi tak ada sautan sama sekali. Hingga mata nya tertuju pada sebuah meja besar, yang membuat senyumnya luntur begitu saja."Harusnya aku sadar, kehadiran ku tak pernah dirayakan." Hera mendekati meja tersebut. Menatap sepotong kue yang tersisa, bersamaan dengan makanan yang berserakan diatas meja.
Ia mengambil lilin angka disampingnya, setelahnya menancapkan lilin itu diatas kue sisa. "Happy birthday." ucapnya, sembari meniup lilin yang sudah ia nyalakan.
Tak ada doa yang ia panjatkan, karena menurutnya tak ada seseorang yang harus ia doakan, tak ada keinginan yang ia inginkan, tak ada harapan yang ia harapkan. Karena dia sendiriian, tak ada yang menginginkannya,dan tak ada yang mengharapkannya.
Hera memotong kue tersebut. "Kue pertama untuk diriku sendiri, kue kedua untuk diriku sendiri, dan kue ketiga untuk diriku sendiri." ujarnya yang membagi kue tersebut menjadi tiga potongan.
Ia memakan kue tersebut, dengan perasaan sedih dan rasa senang yang ada. Setidaknya ia dapat merasakan kue mahal yang dibelikan Hanum serta Brata, walau hanya kue sisa. Sesimple itu kebahagiaan Hera.
Tak sengaja matanya tertuju pada sebuah tembok. Ia menatap foto di dinding, tampak Amora dan kedua orangtuanya tersenyum difoto itu. Baginya foto itu adalah sebuah luka. Luka abadi yang tak kan pernah mati. "Selamat ulang tahun Amora." ucapnya, yang berharap ia bisa mengucapkan langsung pada saudara kembarnya itu.
"Sejauh apapun kita saat ini, aku masih menyanyangimu sebagai kakakku."
"Sejauh apapun kita, aku masih bisa merasakan kebahagiaan mu, apa kau juga sama kak?"
"Apa kau juga bisa merasakan penderitaanku selama ini?" monolog Hera disertai air mata yang terjun bebas tanpa henti.Flasback off
Hera mengusap air matanya yang mengalir saat mengingat kejadian beberapa bulan lalu.
"Hera." panggil Amora, yang membuat Hera terkejut. Bagaimana bisa Amora mengetahui keberadaannya disini?
"Segelap apapun dunia gue saat ini, gue masih bisa merasakan kehadiran loe." ucap Amora.
Mendengar itu, Hera menghampiri Amora lebih dekat. "Ada apa, kak?"
"Apa yang loe lakuin sampai semuanya bisa kayak gini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Untukmu
Teen FictionAmora dan Hera adalah saudara kembar tak identik. Walaupun kembar nasib kedua nya berbeda, Amora dengan segudang kasih sayang dan belaian lembut kedua orangtuanya, sedangkan Hera dengan sebuah tamparan kasar yang ia terima sehari-hari. Hingga sebua...