"Tidak... hiks... hiks... "
Teriakan itu semakin keras, Brata yang hendak memasuki ruangan, terhenti karena dokter yang berada diruangan tersebut keluar. "Dokter, ada apa dengan anak saya, kenapa dia berteriak histeris?"
Dokter itu menghela napas kecil. "Begini pak, Hera mengalami kebutaan karena benturan keras dikepalanya."
"Apa bisa disembuhkan,dok?"
Dokter itu tampak tersenyum kecil. "Tenang saja pak, pasien hanya mengalami trauma pada bagian belakang kepala, sehingga kebutaannya hanya sementara, seiring berjalannya waktu pasti akan sembuh pak, tentu dengan diimbangi pemeriksaan rutin."
Brata mengangguk. "Baik dok, syukurlah kalau begitu, terimakasih ya, dok. "
"Iya pak,sama-sama."
Setelah dokter tersebut pergi, Brata pun memasuki ruangan, tampak putrinya masih menangis histeris ditemani satu suster disampingnya.
"Pa, ma, tolongin aku, aku takut gelap pa, ma, hiks... hiks... hiks... "
"Sus, biar saya saja, yang menenangkan anak saya."
"Baik, pak."
"Papa, pa... pa... aku takut." ucap Amora sembari menggerakkan tangannya kesana-kemari mencari papanya.
Brata menepuk-nepuk pundak putrinya. "Sayang kamu harus kuat ya, ini cuma sementara kok, kamu pasti bisa lihat lagi."
Amora mulai merasa aneh dengan tindakan Brata kali ini, tak seperti biasanya Brata menguatkannya hanya dengan menepuk pundak. "Pa?"
"Kamu disini dulu, papa mau mengurus administrasi." ucap Brata lalu meninggalkan Amora sendirian diruangan.
"Pa, mama mana?"
"Pa, papa." Amora mulai terdiam, saat menyadari dirinya sendirian diruangan ini."Aku ingin dipeluk pa." monolognya.
***
Sunyi, itulah keadaan didalam mobil saat ini. Brata hanya fokus mengendarai mobilnya, sedangkan Amora masih bertanya-tanya dalam hatinya mengenai keadaan yang ia alami saat ini. Sebuah pelukan hangat papanya yang selalu ia dapatkan dalam keadaan suka maupun duka, kini hanya tepukan dipundak yang ia dapatkan. Sosok mama yang selalu ada disampingnya, kini entah dimana ia berada. Yang biasanya ia duduk dikursi depan mobil, entah mengapa Brata menempatkannya dikursi belakang mobil. Ada yang berubah, tapi Amora tak tau pasti, apa itu.
Brata membuka kan pintu mobil. "Sekarang turunkan kakimu, kita sudah sampai rumah."
Amora menurunkan kakinya pelan.
"Teruslah berjalan lurus, dengan bantuan tongkat disebelah kananmu." Perintah Brata.
Amora dengan susahnya mencari tongkat disebelah kanannya. Di kegelapan ia terus mencari terang yang tak kunjung ia dapatkan. "Pa, tongkatnya daritadi gak ketemu."
Brata menarik tangan kanan putrinya, lalu memberikan tongkat tersebut. "Seperti biasa kau harus tetap mandiri, karna papa gak bisa bantu kamu lebih."
Amora yang bingung akan ucapan Brata, mengernyitkan dahinya"Maksud papa?"
Terdengar hembusan napas dari Brata. "Sekarang kamu coba jalan." ucap Brata mengalihkan pembicaraan.
"Pa?"
"Coba jalan!" perintah Brata lebih tegas.
Amora pun mencoba berjalan, walaupun berkali-kali ia hampir terjatuh.
"Belok kiri." perintah Brata lagi, yang mengarahkan ke kamar putrinya.
"Berhenti,geser kekanan sedikit, disitu ada kasurmu."
Amora meraba-raba sekitarnya, memastikan terdapat kasur dibelakangnya. Setelah merasakan ada kasur dibelakangnya,ia pun menduduki bokongnya pelan.
"Kamu mau makan apa?"
"Aku gak mau makan,pa." jawab Amora yang masih merasa sedih atas kejadian yang menimpanya.
"Papa ambilin kamu makan.Apapun yang terjadi, kamu harus tetap makan." ucap Brata yang langsung meninggalkan ruangan.
Brata kembali ke kamar putrinya, menatap sejenak sosok yang didepannya. "Ini makanlah, setelah itu minum obat, kamu ingin cepat bisa melihat bukan?"
Amora tak menjawab, ia terus saja menangis.
"Kenapa menangis?"
"Secengeng itu kamu sekarang?"Amora mengusap air matanya. "Semua terasa berbeda, pa. Saat kegelapan datang padaku, sepi mulai menghatuiku." Batin Amora yang tak dapat ia ucapankan.
Brata meraih tangan putrinya, ia meletakkan sendok ditelapak tangan Amora. "Makan, lalu minum obat. Obat dan minumnya diatas nakas, tepat disebelah kananmu."
"Mama, mana pa?" tanya Amora yang membuat Brata bingung, dengan sikap putrinya kali ini.
"Ini bukan Hera yang aku kenal, tapi ini Amora." Batin Brata. Brata tak mempedulikan pikiran anehnya, ia pergi begitu saja, tanpa menjawab pertanyaan tersebut.
Amora menggenggam sendok ditangannya begitu erat. Amarahnya kini memuncak, saat mendengar langkah kaki Brata yang pergi menjauh darinya.
"Aaaaaaaaaa."
"Pyarr... "
Amora berteriak sekencang-kencangnya, piring pun ia banting bersama dengan nakas disampingnya.Ia meringkuk, ia menangis sejadi-jadinya. Berubah, semua berubah begitu saja. Kehangatan yang selalu ada, kini berubah menjadi panas yang membakar raga.
Amora terus saja menangis, tapi kehadiran sosok Ibu yang menyanyangi serta kepedulian dari sosok ayah tak kunjung ia dapatkan. Pelukan hangat, sebagai penguatnya, kini entah kemana perginya. Hanya senyap yang berhasil menghampirinya.
"Kenapa menangis?"
"Bukankah kamu sudah terbiasa, dengan rasa sakit ini?"
"Apa kali ini lebih berat, chubby?
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Untukmu
Teen FictionAmora dan Hera adalah saudara kembar tak identik. Walaupun kembar nasib kedua nya berbeda, Amora dengan segudang kasih sayang dan belaian lembut kedua orangtuanya, sedangkan Hera dengan sebuah tamparan kasar yang ia terima sehari-hari. Hingga sebua...