Bab 6

81 3 0
                                    

Tangan Hera bergetar hebat saat mengambil pecahan gelas yang paling besar itu. "Mama, aku ingin bahagia."
"Aku tak mau menderita, Aku mau ba...ha...gia, a...ku mau ba...hagia." ucap Hera yang semakin menusukan pecahan gelas itu diperutnya secara perlahan.

"Akhhh... akhhh... sa.. kit." Dengan cepat Hera menutup mulutnya. Ia berpikir jika orang rumah menyadarinya maka itu akan percuma bagi nya, karena darah mamanya pasti tak akan keluar semua jika ada yang menolong dirinya.

"Akhh... sakit." air mata Hera kini turun semakin deras. Hingga penglihatannya semakin buram dan akhirnya tak sadarkan diri.

Dua jam telah berlalu, Hera mulai membuka mata, samar-samar ia melihat infus darah ditangannya. Badannya yang masih lemas membuat Hera tak mampu bergerak sedikitpun. "Aku harap darah ini, bukan dari mama atau kak Amora." batin nya.

Matahari kini sudah terbit, tapi tak satupun keluarga menjenguknya. Hingga sebuah ketukan pintu membuat Hera tersenyum. Setelah pintu itu terbuka lebar senyumnya yang baru saja terukir menghilang begitu saja. "Chubby." Panggil laki-laki itu, seseorang yang selalu menemaninya dalam keadaan apapun.

Hera yang tak kuasa menahan tangisnya,kini tumpah begitu saja. Laki-laki itu dengan sigap memeluknya. "Its oke, semua akan baik-baik saja chubby."

Flashback off

Entah perasaan apa yang saat ini ia rasakan. Sedih karena menjadi Amora pun ia tetap merasa sakit, senang karena dengan menjadi sosok Amora dia akan merasakan kasih sayang kedua orangtuanya secara utuh, perasaan itu seolah bercampur aduk.

"Aku harus bisa menjadi Amora seutuhnya.Semua tentang Hera, masa lalunya, traumanya harus aku hilangkan." batinnya sembari memukul dadanya berulang-ulang.

***

Hera terus berjalan,kemudian menghentikan langkahnya tepat di depan ruang kamar rumah sakit no 31. Tarikan napas terdengar dari mulutnya. Dengan perlahan ia membuka knop pintu tersebut.

Tampak raga milik nya masih terbaring lemas dengan beberapa selang yang menempel dibadannya. Hera mulai mendekati raganya, sejenak Hera menatapnya. "Kak Amora, apa kah kau diragaku?" ucap Hera, lalu memegang pipi kanan raga didepannya.

"Aku harap kau mati kak." lirih Hera dengan air mata yang mengalir begitu saja.

"Klek." Suara pintu terbuka, terlihat sosok Hanum dengan sorot mata yang begitu tajam mengarah pada nya.

Tatapan Hanum padanya mengingatkan pada kejadian 4 tahun lalu. Hera menarik napasnya pelan, badannya kini sedikit bergetar. "Ma.." Belum juga Hera meneruskan kata-katanya, sebuah dorongan kuat membuatnya tersungkur.

"Apa yang kau perbuat Hera?" Teriak Hanum yang suaranya memenuhi ruangan.

Hera terkejut dengan ucapan Hanum barusan, "ia menyebut namaku? " Ia berusaha berdiri dengan sendirinya, walau rasanya teramat berat.

"Plakk." sebuah tamparan mendarat di pipi Hera. Spontan Hera memegang pipi kanannya yang sakit.

"Apa yang kau lakukan pada putriku?"
"Kenapa, raga putriku kau tukar, ha?" ucap Hanum dengan marahnya yang membara.

Hera meneteskan air matanya, ia berusaha menenangkan diri agar bisa menjelaskan apa yang terjadi dengan raga miliknya dan Amora "Ma, aku... "

"Seharusnya, waktu itu aku mengusirmu." Potong Hanum.

Hanum menatap Hera lebih tajam lagi"Mungkin hal menyakitkan ini tak kan terjadi. "

"Dan aku juga tak kan semenderita ini, ma." jawab Hera dengan tatapan sedunya.

"Kembalikan raga Amora...! " teriak Hanum.

Hanum mengoleskan cairan berwarna hijau diwajah Amora yang saat ini disinggahi sukma Hera. "Sungguh raga Amora lebih berharga dari pada sukmamu." ucap Hanum, yang tentu menyakiti hati Hera.

Tiba-tiba saja Hera merasakan nyeri hebat ditubuhnya. "Maa, sa... kit...sakitt."

"Aaaaaaaaaa... tidak.... "

"Huft... Huft... Huft. "Hera mulai mengatur napasnya, lalu melihat sekitarnya yang ternyata ia masih berada dikamar rumahnya.

Ia segera bangun, menuruni ranjang, lalu berjalan menuju cermin didepannya. "Masih wajah Kak Amora, hanya mimpi ternyata." batin nya lega.

"Aku harus melakukan sesuatu sebelum semua itu terjadi. " ucap Hera lirih.

"Amora."
Hera menoleh saat nama Amora dipanggil, tampak Hanum yang sudah memasuki kamarnya, lalu duduk disudut kasur.

"Rencana pertama ini harus berhasil." Batin Hera. Dengan senyum licik yang tiba-tiba saja muncul dibibirnya, Hera menghampiri mamanya.

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang