Bab 20

51 0 0
                                    

Rakhan menatap Hera yang terlihat antusias saat dirinya dinyatakan boleh pulang saat ini juga. Matanya selalu mengikuti gerakan gadis yang sedang merapikan barang-barang miliknya. "Loe senang banget ya, gue dibolehin pulang hari ini?"

"Sebenernya enggak sih, tapi pura-pura seneng aja." celetuk Hera yang membuat Rakhan memonyongkan bibirnya.

"Ohh gitu."

"Kamu lihat aja ekspresiku kayak gimana, seperti orang senang susah atau gimana?" ujar Hera kesal.

Dengan spontan Rakhan memegang pipi hera dan menatapnya dalam, yang membuat ekspresi Hera seketika berubah. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya seakan membeku.
"Ekspresi orang tegang sih." ucap Rakhan.

"Nanti aku yang anterin pulang ya." ujar Hera mengalihkan pembicaraan.

"Gak usah, gue udah pesen taksi kok."

Senyum Hera seketika runtuh, padahal ia ingin duduk berdua didalam mobil, seperti dulu. Tapi ia sadar, melepaskan Rakhan adalah pilihan yang tepat. "Ohh, oke."

"Udah selesai?" tanya Rakhan saat melihat barang-barangnya sudah dikemas dengan rapi.

Hera mengangguk sebagai jawaban. Setelah selesai Keduanya bergegas meninggalkan ruangan.

Kini mereka sedang menunggu taksi yang dipesan Rakhan, didepan rumah sakit. "Biasanya kalau gue lagi seperti ini, selalu ada Hera yang menemani gue."  

Hera menoleh kearah Rakhan. "Sepenting itu ya, Hera buat kamu?"

Rakhan mengangguk. "Iya, karena dia yang selalu mengisi kekosongan gue."

"Aku disini,rak." Batin Hera yang terus menatap Rakhan.

"Sekarang kan ada aku, rak."

Rakhan tersenyum mendengar jawaban tersebut. "Makasih ya, udah mau temenin aku."

Kini senyum Hera merekah. "Iya, sama-sama."

"Gue pulang dulu ya, taksinya udah dateng tu." pamit Rakhan sembari menunjuk taksi didepannya.

"Iya, rak, hati-hati." ujar Hera yang terus menatap taksi itu sampai benar-benar tak terlihat oleh matanya.

***

Prang!
Glontang!

Hanum dan Brata yang mendengar suara benda berjatuhan berkali-kali, menghampiri sumber suara. Keduanya dikejutkan dengan putrinya yang tampak berantakan, pecahan kaca yang berserakan, serta setumpuk buku yang berhamburan dilantai.

"Hiks... hiks... hiks... "

"Gila kamu Hera... " teriak Hanum kepada putrinya yang masih terisak tangis.

"Ma, dengerin aku ma, aku bukan Hera, aku Amora." ucap Amora yang berusaha menjelaskan.

Hanum mengalihkan pandangannya, tak percaya.

"Ini bukan wajah aku maaa, ini bukan wajah aku paaaa."
"Tolonggg, tolong Amora." teriak Amora frustasi.

Dahi Brata mengernyit saat mendengar penjelasan putrinya, yang tampak kacau, lebih tepatnya gila. "Kamu ini ngomong apa sih, ra?"

"Aku Amora pa, bukan Hera."
"Aku juga gak tahu, kenapa wajahku berubah menjadi Hera."

Hanum yang mulai kesal, mendekati putrinya yang masih terduduk dilantai. Ia memegang kedua pipi putrinya dengan tatapan sedih. "Mama minta maaf nak, karena ucapan mama waktu itu ternyata membuatmu sangat menderita."

Amora hanya bisa mematung ditempat, dengan air mata yang terus mengalir.

"Kamu lupa nak?"
"Mau mama ingatkan, ucapan mama beberapa tahun yang lalu?" tanya Hanum dengan tatapan datar.

Tak mendapat jawaban dari putrinya, Hanum mulai mendekatkan mulutnya tepat ditelinga kiri Amora. "Atas kesalahan mu ini,mama pastikan kau tak kan bahagia selama darah mama, masih mengalir ditubuh mu. Karna aku tidak mengizinkan setetes darahku ada di tubuh mu. Kamu ingat itu." bisiknya, mengulang ucapannya beberapa tahun yang lalu.

Mata Amora melotot seketika. Ia tak menyangka dulu Hanum mengucapkan hal sekeji itu pada saudara kembarnya.

"Ayo pa, kita tinggalin dia sendirian disini, aku udah gak sudi lihat mukanya." ucap Hanum, yang langsung meninggalkan ruangan diikuti Brata dibelakangnya.

Tak ada yang bisa Amora lakukan lagi, ia teriak pun tak akan ada yang percaya padanya. Hanya tangis yang mengisi suasananya hari ini.

Beberapa menit kemudian, tangisnya mulai reda.

"Klekk." Suara bukaan pintu membuat Amora menatap pintu tersebut. Tampak Hera yang membuka pintu dengan lebar, disambut senyum yang tiba-tiba saja terbit dibibirnya.

"Kenapa loe senyum-senyum?" tanya Amora, jengkel.

"Aku seneng aja, lihat Kak Amora nangis, baru kali ini lihat kakak nangis."

"Gila loe ya, loe kan yang nuker wajah kita?" berang Amora.

Hera menyeringai kecil. "Aku gak tahu apa-apa kak, soal ini." jawab Hera yang menekan pada setiap kalimat.

"Bohong, ini semua pasti ulah loe."
"Dari dulu loe yang ingin jadi gue kan?"
"Jadi loe, mengunakan cara licik biar wajah kita tertukar." ucap Amora beruntun.

"Aku gak tahu apapun kak, bangun-bangun wajah kita udah tertukar."
"Oh iya satu lagi, aku ingin merasakan menjadi kak Amora.Apa kakak tidak ingin merasakan menjadi aku?" ujar Hera melanjutkan ucapannya.

"Gila kamu Hera." Teriak Amora dengan amarah yang semakin memuncak. Dengan tenaga kuat, Amora mendorong Hera sampai tersungkur ke belakang.

Tak puas dengan dorongan yang ia lakukan, Amora dengan kesal menjambak rambut Hera.

Tak tinggal diam, Hera membalas jambakan itu sembari memanggil kedua orangtuanya. "Mama... papa... tolong aku."

"Akhh... akhh" teriak keduanya, yang merasa kesakitan.

Hanum dan Brata yang mendengar kericuhan, segera menghampiri sumber suara. Keduanya kini terkejut ketika sampai dilokasi.

Terlihat Hera dan Amora yang sedang bertengkar. Dengan sigap keduanya memisahkan pertengkaran itu. Brata dengan kasar memegang erat kedua tangan Amora dibelakang punggung, sedangkan Hanum memeluk Hera lembut, serta memastikan keadaan putrinya. "Kamu gak papa kan, nak?"
"Ada yang luka gak?" tanya Hanum beruntun.

"Sakit, maaa." keluh Hera, yang membuat Hanum semakin marah pada Amora.

"Sudah gila kamu ra."

"Maaa, aku Amora bukan Hera." jelas Amora disertai tangisnya.

"Ma, sebaiknya kamu telepon pihak rsj buat kesini bawa Amora." pinta Brata yang dijawab anggukan oleh Hanum.

"Paaa, aku gak gila ya, aku gak mau dibawa ke rsj, aku gak gila paaa." teriak Amora yang terus saja memberontak.

Brata dengan sigap mengikat erat tangan Amora ke belakang. Lalu mengikat leher Amora dengan tali yang diikatkan ke dipan kasur. "Kamu,Jangan kemana-mana!" pinta Brata, kemudian meninggalkan Amora sendirian, dengan pintu yang terkunci dari luar.

"Paaa, aku gak gila pa." teriak Amora lagi. Tak ada yang bisa Amora lakukan sekarang. Ingin bergerak pun sama saja ia bunuh diri, karena tali yang mengikat lehernya di dipan akan mencekiknya jika ia bergerak sedikitpun.

Awan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang