6:30 WIB
Hera yang kini sudah berada disekolah, mencari keberadaan saudara kembarnya. Ia menunggu didepan kelas, dengan tatapan yang tak lepas dari pandangan sekitar.
Hingga sosok yang ia cari muncul melewati nya. "Kak..." panggilnya.
Amora yang awalnya tak menyadari keberadaan Hera, kini menyadari nya. "Her, ngapain disini?"
"Aku mau ngomong sama kamu." ucap Hera, yang melangkahkan kaki menuju belakang sekolah, diikuti Amora.
"Her, pelan-pelan!" pinta Amora yang masih berada dibelakang Hera. Ia berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Hera, walau badannya masih terasa lemas. Amora belum sembuh betul, tapi dia memaksakan diri untuk tetap berangkat sekolah.
Kini langkah Hera terhenti, ia membalikkan badan menghadap Amora. Menunjukkan video di handphone yang berada digenggaman nya.
"Itukan handphone gue." teriak Amora, sembari berusaha mengambil alih barang miliknya.
Dengan sigap Hera menarik kebelakang tangannya, menyembunyikan handphone dipunggungnya agar tidak direbut Amora. "Apa maksud video itu, kak?"
"Video?" Amora berpikir sejenak.
"Itu nyata adanya kan?" ucapnya lagi, setelah beberapa detik terdiam."Tapi....Kak Amora tahu... aku gak... salah... lalu kenapa Kak Amora gak pernah bela aku?" ujar Hera dipenuhi tekanan dikalimat terakhir.
"Gue gak punya kuasa buat bela loe."
"Setidaknya Kak Amora, ada disaat aku terpuruk, bukannya seneng-seneng saat adeknya menderita."
"Itu ya, yang dinamakan seorang kakak?" ungkap Hera, dengan air mata yang ia tahan daritadi."Gue memang gagal jadi kakak."
"Gue memang gagal jadi saudara." teriak Amora, lalu mendekatkan wajahnya pada Hera.
"Tapi asal loe tahu, gue gak pernah gagal jadi anak."
"Gue selalu bisa bahagiain mama, gue gak pernah sekalipun nyakitin mama."
"Gue gak pernah sekalipun ngecewain mama."
"Gue selalu bisa buat mama bangga.""Diaammmm..." teriak Hera, yang sudah tak sanggup mendengarkan perkataan Amora. Ia terus saja menutup telinganya dengan kedua tangan, walau suara itu masih tetap masuk.
"Dan satu hal yang harus loe tahu, her."
"Gue lakuin ini buat keluarga kita, biar keluarga kita tetap utuh.""Utuhh?"
"Lalu aku bagiamana kak?"
"Aku... hancur..." Hera menjatuhkan tubuhnya, diatas rerumputan hijau. Air matanya mengalir deras, dadanya seakan sesak, nafasnya sudah tak beraturan. "Hiks... hiks... "Amora melangkah mundur, menatap Hera yang terlihat benar-benar hancur. Rasanya ingin ia peluk erat, dengan kedua tangannya, namun hatinya terasa berat. Rasa gengsi nya lebih tinggi, hingga membuat Amora meninggalkan Hera sendirian. Jujur ia tak tahan melihat Hera sehancur ini.
"Kringgg..." bel masuk telah berbunyi. Disini Hera mati-matian menenangkan dirinya sendiri.
Ia mengusap pipinya, mengatur napasnya agar kembali teratur. Lalu berusaha berdiri dengan kedua kaki yang terasa lemas. Ia melangkah pelan, menundukkan kepala. Tak boleh ada satupun orang yang mengetahui kesedihan nya.
Kesedihan ini hanya miliknya, luka ini juga miliknya, tak seorangpun paham akan deritanya.
"Maaf pak, saya habis dari kamar mandi." izin nya sesampai di kelas.
"Tujuh lewat lima belas menit, gak ada alasan untuk terlambat masuk kelas."
"Berdiri di tengah lapangan sampai saya selesai mengajar." pinta Pak Ahak, tanpa melihat Hera sedikitpun."Baik pak." Hera pun keluar kelas, berdiri ditengah lapangan dengan terik matahari yang menemani.
Beberapa menit telah berlalu, rasa lelahnya mulai menghampiri. Terlebih rasa haus yang kini datang, tak dapat ia tahan lagi.
"Mor..." panggil seseorang, yang membuat Hera menatap kesumber suara.
"Loe kok bisa disini?"
Yesi mengulurkan sebotol minum dari tangannya. "Gue tadi izin ke kamar mandi, sekalian bawain minum buat loe."
"Loe haus kan?" tanya Yesi ketika mendapati Hera tak bereaksi daritadi.
Hera menelan ludahnya sendiri, menatap air minum itu, sembari mengingat kata-kata Amora yang membuat nya penasaran. "Turutin apa yang yesi mau! Jangan bantah dia sedikitpun"
"Oke, kita coba pancing Yesi." Batin Hera dengan senyum liciknya.
"Gak... gue gak butuh yes."
"Ayolah mor, kalau loe gak haus, setidaknya loe ambil minuman ini, jam pelajaran Pak Ahak masih lama lho."
"Gak."
Yesi menarik napasnya dalam, ia masih berusaha membujuk Hera. "Gue udah susah-susah kesini, cuma buat ambilin loe minum, masak gak diterima sih."
"Nih ambil ya, kalau nanti loe haus, tinggal minum ini aja." ujar Yesi, sembari meletakkan air minum itu ditelapak tangan Hera."Gak usah, yes." tolak Hera yang mengembalikan minuman tersebut ditangan Yesi.
Yesi terdiam, ia menatap dalam sahabatnya itu.
"Pyarrrr." Botol minum itu Yesi banting sekuat tenaga, hingga hancur.
"Anj*ng...." teriaknya, yang sontak membuat Hera kaget. Terlebih sorot mata Yesi yang tiba-tiba berubah, sorot mata yang tidak seperti biasanya, sorot mata yang begitu dalam menatapnya.
"Yes... loe gak papa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan Untukmu
Teen FictionAmora dan Hera adalah saudara kembar tak identik. Walaupun kembar nasib kedua nya berbeda, Amora dengan segudang kasih sayang dan belaian lembut kedua orangtuanya, sedangkan Hera dengan sebuah tamparan kasar yang ia terima sehari-hari. Hingga sebua...